Sabtu, 17 Agustus 2019

SELAMAT ULANG TAHUN INDONESIA


SELAMAT ULANG TAHUN INDONESIA

Indonesia sebagai Negara bangsa
Proses panjang Pembentukan Negara Bangsa Indonesia, yaitu dari Masa Kolonial Belanda ke Era Orde Baru tahun 1980-an dan 1990-an. Konsep kebangsaan tetap sangat cair untuk waktu yang lama tetapi secara bertahap mulai terbentuk setelah pengenalan pendidikan barat untuk pribumi di era Kolonial Belanda dan mengambil bentuk akhir di Era Orde Baru. Kompleksitas pembentukan negara-bangsa adalah karena wilayah ini terdiri dari banyak suku, budaya, bahasa, agama, dan partai politik. Identitas nasional mereka dimulai dari kesadaran etnis yang terbentuk di Era Kolonial Belanda. Selama era pendudukan Jepang, formasi Negara Bangsa Indonesia dilaksanakan sebagai Kurasawa mengatakan bahwa mereka telah mempersiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Di era Soekarno, Indonesia masih secara ideologis dibagi menjadi beberapa ideologi internasional seperti Komunisme, Islamisme, dan ideologi nasional sekuler. Puncak saingan adalah pecahnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965. Perubahan besar terjadi dengan jatuhnya rejim Sukarno yang digantikan oleh Jenderal Suharto. Suharto menyebut era Soekarno sebagai rezim orde lama dan menyebut rejimnya sebagai Orde Baru. Stabilitas formasi Nasional Indonesia dipulihkan dengan larangan Ideologi Internasional seperti Komunisme, memaksa militansi Islam dan menggunakan Ideologi Nasional (Pancasila) sebagai Ideologi Nasional.

Lebih dua dasawarsa era reformasi berjalan. Sejak Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru dijatuhkan pada 1998, banyak perubahan terjadi di Indonesia, terutama dalam ranah politik. Salah satu perubahan besar yang terjadi pasca-reformasi adalah pembatasan kekuasaan presiden. Pada era Orde Baru, Soeharto dapat dipilih berkali-kali sebagai presiden tanpa ada periode pembatasan.

Selain itu, wewenang presiden pada era reformasi tak sekuat seperti di era Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Misalnya, presiden bukan lagi satu-satunya pihak yang punya kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Sesuai Pasal 5 UUD 1945, pasca-amandemen, presiden tak lagi memiliki kekuasaan tunggal dalam pembentukan UU, tetapi hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.

Sistem demokrasi pun mulai diterapkan dengan baik di era reformasi. Hal yang paling menonjol adalah sistem pemilihan umum yang memungkinkan presiden dipilih langsung, tidak lagi dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui Sidang Umum MPR. Kemudian, terdapat sejumlah perubahan lembaga negara. Dihilangkannya Dewan Pertimbangan Agung sebagai penasihat presiden, menjadi salah satu contohnya. Sebaliknya, di era reformasi, muncul sejumlah lembaga negara baru seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Yudisial.

Dari sisi kedaulatan, tuntutan masyarakat Timor Timur untuk merdeka menjadikan Indonesia kehilangan provinsi termuda itu. Timor Timur pun berubah menjadi negara merdeka bernama Timor Leste. Meski demikian, era reformasi juga menyebabkan daerah memiliki wewenang yang lebih besar berkat dilaksanakannya otonomi daerah.

MASA transisi di era reformasi ditandai dengan perpindahan tongkat kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada wakilnya, Bacharuddin Jusuf Habibie pada 21 Mei 1998. Namun, naiknya  Habibie ke tampuk kekuasaan tak lepas dari kritik lantaran dia dianggap sebagai bagian dari rezim Orde Baru. Demonstrasi mahasiswa pun tak selesai, yang kali ini menuntut Habibie turun dari kursi presiden. Salah satu alasan mahasiswa menuntut Habibie mundur adalah karena dia dianggap tidak dapat menjalankan amanah reformasi, terutama pengadilan untuk Soeharto. 

Habibie dapat dianggap ikut meletakkan fondasi awal dalam sistem demokrasi pada era reformasi. Habibie juga dinilai berjasa dalam menghadirkan kebebasan pers di Indonesia. Di bidang ekonomi, Habibie ikut memprakarsai Bank Indonesia yang independen dan lepas dari pengaruh pemerintah. Terkait politik elektoral, Habibie menghasilkan tiga undang-undang demokratis.

Pemilihan presiden yang dilakukan oleh anggota MPR hasil Pemilu 1999 menempatkan Ketua Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid yang berpasangan dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sebagai wakil menjadi pemegang tampuk pemerintahan. Pada masa Orde Baru, masyarakat Tionghoa mengalami diskriminasi yang membuat mereka tidak bisa mengekspresikan budaya dan keyakinannya. Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Atas nama asimilasi, Orde Baru melarang masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan keyakinannya di depan umum. Dengan demikian, masyarakat Tionghoa hanya boleh melaksanakan ibadah atau merayakan hari besar seperti Imlek di lingkungan internal, yaitu keluarga.

Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, kebijakan itu dihapus. Gus Dur, sebutan penghormatan untuk Abdurrahman, merilis Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres Nomor 14 Nomor 1967. Setelah itu, masyarakat Tionghoa pun diperbolehkan mengekspresikan keyakinan, termasuk merayakan Imlek di depan publik. Tidak hanya itu, Imlek pun dijadikan hari libur nasional.

REFORMASI menjadi pintu masuk untuk dilakukannya amandemen terhadap sejumlah pasal dalam UUD 1945. Pasal-pasal yang dinilai kurang demokratis, seperti memberi kekuasaan terlalu besar kepada eksekutif, menjadi prioritas untuk diamandemen. Pasca-reformasi, Indonesia tercatat melakukan empat kali amandemen.

Inti dari amandemen pertama ialah membonsai wewenang eksekutif yang sebelumnya dinilai terlalu besar. Amandemen kedua sekaligus menjadi tonggak dimulainya otonomi daerah dengan pengesahan Pasal 18. Pasal tersebut kini mengakui pemerintahan daerah yang berdaulat dan dipilih melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) serta memiliki DPRD yang dipilih lewat pemilu. Selain itu, amandemen kedua menjadi tonggak untuk memasukkan definisi hak asasi manusia dalam dasar hukum di Indonesia, yaitu perluasan Pasal 28.

Perubahan utama dalam amandemen ketiga ialah pemilu presiden yang tak lagi melalui MPR, tetapi langsung melalui rakyat. Ini terjadi dalam amandemen Pasal 1 dan Pasal 6A. Hal ini sekaligus mengubah kewenangan MPR yang tak lagi menjadi lembaga tertinggi. Amandemen juga mengatur mengenai mekanisme pencopotan presiden atau impeachment. Dapat dibilang bahwa amandemen ini berkaca pada pencopotan Presiden Abdurrahman Wahid pada 23 Juli 2001 dengan mekanisme yang terbilang mudah, sehingga dikhawatirkan terjadi ketidakstabilan politik.
Amandemen yang menghasilkan Pasal 24 juga mengamanahkan pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

Perubahan utama dalam amandemen keempat ialah pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai unsur di MPR dan dipilih melalui Pemilu. Amandemen juga mengamanahkan penghapusan lembaga DPA. Selain itu, memunculkan amanah UUD 1945 terkait kesejahteraan rakyat seperti pendidikan, kebudayaan, dan kesehatan.

 

Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang itu menjadi dasar pembentukan KPK, yang hingga kini ditakuti para koruptor. Sejak berdiri pada 2002, KPK pernah menangkap hingga memproses hukum sejumlah pejabat elite, mulai dari menteri, ketua lembaga negara, ketua umum partai politik, hakim, hingga kepala daerah.

 

Kebijakan mengenai otonomi daerah merupakan amanah amandemen kedua UUD 1945, tepatnya pada Pasal 18. Pasal itu mengatur bahwa kedaulatan pemerintahan daerah diakui. Konsekuensinya, pemerintah bersama DPR segera menyusun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan ini secara lebih detail mengatur bahwa daerah dapat secara optimal mengelola sumber daya alamnya. 

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang muncul sejak Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM) pada era Orde Baru akhirnya berdamai dengan pemerintah Indonesia. Perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan GAM itu antara lain memuat permintaan GAM agar Aceh memiliki undang-undang pemerintahan sendiri serta pendirian partai lokal. Kedua permintaan itu terpenuhi, menghasilkan Qanun dan partai lokal Aceh.

PEMILU presiden (Pilpres) langsung menjadi tonggak sejarah bagi Indonesia pasca-reformasi. Indonesia pun mencatat sejarah karena presiden dapat dipilih berdasarkan sistem satu orang mewakili satu suara, alias one man one vote. Proses hingga berlangsungnya pilpres diawali dengan amandemen kedua UUD 1945 terhadap Pasal 6A. Dalam pasal itu diatur bahwa presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Hasilnya, Pemilu 2004 yang menggunakan sistem pilpres langsung dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla, melalui dua putaran pemilu.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada tahun 2018 mencapai 71,39. Angka itu meningkat 0,58 poin atau tumbuh sebesar 0,82% dibandingkan 2017. Indeks Pembangunan Manusia yang Terus Naik di Era Jokowi.  SMRC menyatakan bahwa era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla lebih demokratis di mata masyarakat dibanding era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal itu merujuk dari hasil survei yang melibatkan ribuan responden dari seluruh wilayah Indonesia secara acak.


Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla hampir menyelesaikan masa tugasnya di pemerintahan. Tidak ditampik, dalam kepemimpinannya, banyak perubahan positif yang dilakukan, salah satunya dalam aspek perekonomian. Hal itu bisa dilihat dari kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) di 2014 hingga sekarang ini. Sejak dilantik sebagai orang nomor satu di Indonesia atau tepatnya pada 20 Oktober 2014, Jokowi memang cukup fokus terhadap perekonomian. Pembangunan infrastruktur yang masif menjadi di antara agenda utamanya termasuk pemerataan pembangunan di seluruh wilayah di Indonesia. Harapannya, tercipta keberlanjutan pertumbuhan di masa mendatang.

Dampak pembangunan ekonomi terlihat dalam beberapa indikator perekonomian, baik tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, gini ratio, hingga PDB Indonesia. Terkait dengan PDB, terpantau terus meningkat seiring dengan sejumlah kebijakan yang masif diluncurkan oleh Pemerintahan Jokowi. 


Pandangan Kristen tentang negara-bangsa
Ketika membahas pandangan Kristen tentang negara-bangsa, pertama-tama kita harus mengakui kebaruan sejarah mereka. Sementara para penulis Alkitab tahu betul tentang kelompok-kelompok orang dan kekuatan politik, konsep negara-bangsa modern yang berorientasi demokratis akan asing bagi mereka. Dengan mengingat hal ini, kita dapat mulai melihat apa yang dikatakan kitab suci tentang tempat bangsa (kelompok masyarakat) dan negara (entitas politik secara umum), pendahulu sejarah negara-bangsa kita. Saya akan melihat tiga poin utama yang berkaitan dengan cara teks Alkitab merujuk pada kedua negara dan bangsa, yang meliputi:
1)      sifat dari entitas-entitas di dunia yang jatuh,
2)      bagaimana mereka dapat bekerja untuk tujuan yang baik dalam perjalanan Pemulihan Tuhan dan bagaimana mereka sering membungkuk ke arah tujuan jahat oleh manusia, dan
3)      takdir eskatologis mereka dalam Ciptaan Baru.

1.      Pertama dengan sifat bangsa dan negara.
Hampir setiap struktur sosial-politik dalam sejarah diberlakukan setelah Kejatuhan. Terlepas dari bagaimana seseorang membaca Kejadian, sisa narasi alkitabiah memandang semua struktur sosial dan politik sebagai yang dipengaruhi oleh sifat kejatuhan dunia. Satu-satunya bentuk pemerintahan yang dapat kita lihat sebelum Kejatuhan adalah bentuk teokrasi murni, dengan Allah Pencipta sebagai penguasa yang sah atas ciptaan, dan manusia sebagai wakil yang membawa gambar Allah. Memang, hanya setelah Kain membunuh Habel, narasi Alkitab memperkenalkan konsep kota dan kelompok politik orang, di mana hati mereka didominasi oleh kejahatan (Kejadian 4: 17-6: 7).

Ketika manusia terus menghancurkan dunia baik Tuhan, Dia terus membawa kebaikan dari kekacauan kita. Setelah Air Bah, Allah memberikan undang-undang yang menentang pembunuhan dan memunculkan banyak bangsa dari keturunan putra Nuh (Kej. 10). Sekali lagi, terlepas dari bagaimana seseorang membaca Kejadian 1–11, intinya adalah sama: keluar dari kekacauan umat manusia yang Allah hasilkan baik. Tetapi bangsa dan negara masih salah.

Kisah Menara Babel berakhir dengan orang-orang yang berkumpul menjadi kerajaan proto ("Babel" dalam bahasa Ibrani adalah kata yang sama untuk Babel) mencoba dan mengangkat diri mereka ke tingkat Penguasa sejati. Tuhan tidak membiarkan ini terjadi. Pola ini terus berlanjut sepanjang perjalanan Perjanjian Lama.

Bangsa dan negara dapat digunakan oleh Allah untuk membawa kebaikan dari kekacauan kita yang jatuh. Namun jika mereka berhenti mendengarkan Sang Pencipta, pola penindasan dan perebutan kekuasaan berulang. Israel diselamatkan dari Mesir sehingga mereka dapat dipimpin oleh Pencipta yang membuat perjanjian dengan nenek moyang mereka. Namun Israel meminta raja manusia seperti semua bangsa lain. Raja-raja Israel akhirnya menjadi seperti kerajaan jahat yang mereka selamatkan. Dan begitulah seterusnya jalannya narasi Alkitab.

Manusia memelintir struktur sosial-politik, yang Tuhan berikan sebagai konsesi untuk kebaikan, untuk tujuan jahat. Hanya ketika Allah sendiri tiba di tempat kejadian dalam pribadi Yesus dari Nazareth, raja manusia pertama yang benar-benar baik di dunia terlihat.

Inti dari ringkasan ini sederhana. Bangsa-bangsa dan negara-negara dihadirkan dalam perjalanan Pemeliharaan Tuhan untuk tujuan baik. Memang, tidak peduli kejahatan apa yang kita hasilkan dalam keegoisan dan pandangan picik kita, Tuhan akan selalu membawa kebaikan darinya. Bangsa dan negara (dan dengan perluasan yang logis, negara bangsa modern) dapat digunakan untuk tujuan baik. Itu adalah kebenaran tragis sejarah, bahwa Negara bangsa lebih sering membungkuk untuk melayani hasrat yang jatuh.

Secara Alkitabiah sejarah bangsa, akan melanjutkan Penciptaan Baru, dalam penyembahan kepada Allah Tritunggal. Dalam Wahyu 7: 9–10, Yohanes Sang Pelihat melihat Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. 10 Dan dengan suara nyaring mereka berseru: "Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!"

Demikian juga, menjelang akhir visi eskatologis, Yohanes melihat Yerusalem Baru yang ditandai oleh bangsa-bangsa dan raja-raja di bumi "berjalan dengan cahayanya" dan "membawa kemuliaan mereka ke dalamnya." Yang perlu diperhatikan adalah bahwa kedua bangsa dan negara (dalam satu bentuk atau lainnya) akan tetap menjadi Ciptaan Baru. Namun, mereka ditebus, diorientasikan, dan ditundukkan pada aturan yang adil dari Allah Pencipta dan Kristus di atas takhta.

Prinsip-prinsip ini tetap sama untuk negara-bangsa modern, termasuk Indonesia. Tuhan dapat dan memang membawa kebaikan dari mereka, terutama ketika mereka bertindak dan beroperasi dengan adil. Namun, kejatuhan manusia dapat dan sering kali melemahkan struktur dan kelompok ini menjadi penindas sistemik bagi mereka yang lemah dan tidak berdaya. Maka orang Kristen harus selalu memiliki hubungan tentatif terhadap negara-bangsa. Mereka adalah entitas terbatas yang muncul dari kemungkinan sejarah dan, kecuali kedatangan Kristus, akan memudar kembali ke catatan sejarah. Hanya Kristus dan Kerajaan-Nya saja yang abadi. Selama kita mempertahankan hal itu di garis depan pikiran kita, kita mungkin hanya dapat terlibat dengan benar dengan negara-bangsa modern sebagaimana mereka dimaksudkan dalam Pemeliharaan Tuhan.

Kehidupan keagamaan di Indonesia

Agama merupakan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Agama dibedakan menjadi Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Khong Hu Chu, dan Agama Lainnya. Agama berguna dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama, contoh: kebijakan Kementerian Agama dalam pembangunan tempat-tempat ibadah beragama, untuk memelihara dan menyuburkan kesadaran umat dalam menghayati dan melaksanakan ajaran-ajarannya. Termasuk dalam acara agama: Sepercik Iman Pembasuh Kalbu, Terjemahan Al-Quran, Mimbar Agama Islam, Mimbar Agama Katolik, Mimbar Agama Protestan. 

Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini adalah kompromi antara gagasan negara Islam dan negara sekuler. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Menurut hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam (Nusantara merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia), 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Konghucu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Dalam Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Baru-baru ini, aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) telah diakui pula sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tertanggal 7 November 2017. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.

Reformasi berjalan, tetapi rakyat seperti tidak mendapat manfaat apa-apa. Padahal reformasi dimaksudkan agar ada perubahan mendasar dalam kehidupan politik dan ekonomi masyarakat. Kehidupan politik yang lebih demokratis juga tidak sejalan dengan rasa nyaman beragama. Eskalasi kekerasan atas nama agama terus meningkat setelah masa reformasi. Dalam berbagai pertistiwa kekerasan karena fundamentalisme agama, negara justru seolah absen.
Kelompok-kelompok masyarakat tertentu begitu saja dengan mudah menyerang kelompok masyarakat lain yang tidak seagama, tidak sealiran atau sepaham. Warga Ahmadiyah dan syiah merupakan kelompok yang menjadi sasaran kekerasan. Di sejumlah daerah, rumah dan tempat ibadah mereka dihancurkan, sering kali juga diikuti pembunuhan.

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengeluarkan pernyataan yang mencerminkan bahwa pemerintah tidak berdiri di atas semua golongan. Pemerintah gamang menerapkan konstitusi dan lebih takluk kepada tekanan kelompok garis keras dan intoleran. Menanggapi kasus penyerangan tempat ibadah Ahmadiyah di Bandung beberapa waktu lalu, Heryawan justru mengatakan “Ahmadiyah hilang, masalah hilang.” Menafikan kenyataan bahwa pembuat masalah bukan kelompok yang ingin menjalankan ibadahnya, tetapi kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan karena tidak tahan hidup berdampingan dalam kedamaian.

Aktivis kebebasan beragama Romo Antonius Benny Susetyo mengatakan reformasi justru menjadi anacaman dalam kebebasan beragama. Pemerintah yang seharusnya melindungi dan menjamin kebebasan sesuai Pasal 29 UUD 1945 malah gagal menjalankan perannya. “Ketika hukum tidak jadi syarat demokrasi, yang terjadi justru tunduk terhadap premanisme,” papar Romo Benny. Hal ini menurut Romo Benny tidak terlepas dari politik transaksional. Elite-elite politik dan perilaku seperti Orde Baru masih sama, hanya berganti baju saja. Politik centeng tetap berjalan. Dikuasai jawara-jawara lokal yang membuat lingkar kekerasan tidak pernah putus.

Pada masa refromasi juga kita mendengar kabar berbagai penutupan atau pelarangan aktivitas kelompok-kelompok yang tidak sepaham dengan aliran yang lebih mayoritas. Rumah-rumah mereka dihancurkan. Penyebabnya adalah karena perbedaan keyakinan dengan sebagian besar warga sekitarnya.

Ketua Setara Institute Hendardi, selama masa kepemimpinan SBY, praktik intoleransi jutsru meningkat. Menurutnya, tidak ada kemauan politik SBY untuk menyelesaikan masalah intoleransi ini. Ini menurut Hendardi karena tidak ada penegakan hukum yang tegas dari pemerintah. Bahkan kadang intoleransi tersebut digunakan untuk kepentingan tertentu. Menurut catatan Setara Institute, kekerasan yang terjadi antara penganut keyakinan selama 2007 saja ada 135 kasus, pada 2009 meningkat menjadi 200 kasus. Jumlah itu meningkat lagi menjadi 216 kasus di 2010. Pada 2011, kekerasan meningkat menjadi 244 kasus, dan 2012 mencapai 264 kasus. (Sinar Harapan)

Presiden Jokowi kembali menekankan ancaman radikalisme di Indonesia. Jokowi meminta masyarakat tetap menjaga persatuan meski berbeda pilihan politik dalam pilkada maupun Pilpres. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan setidaknya terdapat dua penyebab timbulnya radikalisme dalam menjalankan agama. Pertama, karena wawasan yang terbatas. Kedua, merupakan respons atas ketidakadilan ketika seseorang menyikapi realitas kehidupan.
Banyak pengamat dan tokoh politik di Indonesia heran ketika isu Islam Radikal semakin kencang terdengar dalam beberapa tahun belakangan ini. Bila dicermati dalam  periode  paska reformasi, tampaknya dalam era pemerintah Jokowi istilah Islam Radikal lebih sering disebut dan diucapkan dibandingkan era pemerintahan sebelumnya. Bukan hanya masyarakat, pejabat negara bahkan presiden Jokowipun saat ini getol menyebut Islam Radikal dengan mudahnya.
Muncul label seperti Islam radikal, Ormas Radikal, Salafi radikal, atau yang agak umum radikalisme agama. Media Wall Street Journal dalam ulasannya artikel yang berjudul "Hard-Line Strain of Islam Gains Ground in Indonesia, World's Largest Muslim Country" mengungkapkan uajaran yang berkonotasi negatif dengan mengatakan terjadi kebangkitan Islam garis keras dan radikal dalam Pilkada Jakarta untuk menggulingkan gubernur beragama Kristen. 

SBS Australia, menulis: "Jakarta election: Radical Islam tested 'if Ahok wins'" yang melabeli Islam Radikal dalam peristiwa Pilkada Dki Jakarta. Kantor berita Reuters pun demikian. Beberapa tulisannya sebelum, saat dan sesudah pilkada DKI Jakarta menggambarkan soal kebangkitan ekstremisme dan radikalisme Islam dalam perhelatan politik itu.

Reuters juga mengatakan bahwa kelompok radikalisme Islam telah menjadi kekuatan yang besar di Jakarta, dan akan digunakan untuk pemilihan presiden 2019 mendatang. Media Amerika Serikat, USA Today, CNN dan New York Times, yang bernada sama ketika memberitakan pilkada DKI Jakarta. Bahkan kemenangan Pilkada DKI Jakarta Anis Sandi juga dianggap oleh beberapa media Barat dan sekelompok golongan di Indonesia adalah kemenangan Islam Radikal. Salah satunya adalah media Wall Street Journal dalam tulisannya yang berjudul "Hard-Line Strain of Islam Gains Ground in Indonesia, World's Largest Muslim Country" yang mengulas tentang kebangkitan Islam garis keras dalam Pilgub Jakarta untuk menggulingkan gubernur beragama Kristen. 

Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dengan demikian, HTI resmi dibubarkan pemerintah.  Pencabutan dilakukan sebagai tindaklanjut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. "Maka dengan mengacu pada ketentuan Perppu tersebut terhadap status badan hukum HTI dicabut," ujar Dirjen AHU Kemenkumham Freddy Harris dalam jumpa pers di gedung Kemenkumham, Jakarta, Rabu (19/7/2017).

Wiranto saat itu memaparkan tiga alasan pemerintah membubarkan HTI. Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Ketiga, aktifitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.

Peran Masyarakat Kristen Indonesia
Orang Kristen lahir di bumi Indonesia, memiliki negara Indonesia, dan oleh karenanya juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia. Diakui atau tidak, umat Kristen memiliki andil yang cukup besar dalam melahirkan dan mempertahankan Republik Indonesia. Banyak orang Kristen yang telah gugur sebagai kusuma bangsa, meskipun nama-nama mereka tidak ditemukan di makam-makam pahlawan.

Sejak tahun 1945 sampai sekarang, masyarakat Kristen belum pernah absen dari perjuangan mengisi pembangunan bangsa. Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, orang Kristen tetap berusaha memelihara iman dan berjuang dengan gigih menegakkan kebenaran dan keadilan seperti yang dimandatkan oleh Yesus Kristus. Statusnya sebagai warga Kerajaan Allah telah dibuktikan dalam kehadirannya sebagai pelaku firman yang tidak berkompromi dengan kejahatan.

Maka sebagai murid Yesus, orang Kristen harus berusaha keras menjadi garam dan terang. Mereka bertanggung jawab terhadap maju dan mundurnya negara Indonesia. Mereka tidak hanya berjuang untuk mendapatkan kekuasaan politik tetapi juga melaksanakan terjadinya revolusi intelektual agar seluruh masyarakat Indonesia bisa memiliki kemampuan intelektual dalam semua disiplin ilmu. Dengan ini, mereka berperan serta dalam membangun masyarakat baru, sebagai wujud Kerajaan Allah di bumi yang berasaskan kebenaran, damai sejahtera, sukacita dan kuasa oleh Roh Kudus. (Roma 14:17, 1 Kor 4:20).

Pendidikan menjadi kebutuhan prioritas seluruh rakyat Indonesia. Dengan pendidikan yang memadai bangsa Indonesia akan diberanikan memasuki abad ke-21 yang dikenal sebagai abad informasi. Masa depan Indonesia tergantung sepenuhnya kepada kualitas bangsa Indonesia. Kualitas bangsa Indonesia akan ditentukan oleh kecerdasan masyarakatnya. Kecerdasan bangsa Indonesia juga akan ditentukan oleh suatu pendidikan. Pada abad ke-21 dibutuhkan orang-orang yang berkualitas tinggi.

Untuk itu, Gereja mempunyai peranan yang sangat dominan sebagai upaya ikut mencerdaskan bangsa. Dalam sektor ini, partisipasi Kristen akan sangat menentukan, bukan hanya untuk pendidikan di kota-kota besar, tetapi juga di desa-desa yang terpencil di seluruh Indonesia. Salah satu tugas panggilan Gereja adalah mengembangkan ketrampilan masyarakat agar mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Orang Kristen sebagai warga gereja dan juga sebagai warga negara bertanggung jawab mengubah masyarakat Indonesia menjadi masyarakat maju yang ber-Pancasila.

Di bawah terang prinsip harkat dan martabat manusia, Gereja dan orang Kristen harus mengakui dan melindungi hak-hak asasi dari manusia sebagai ciptaan Allah yang diberikan kebebasan untuk memilih, bersekutu dan beribadah dan perintah Kitab Suci secara holistic (pembangunan, kasih, pemuridan). Setiap orang juga berhak berbicara, bersuara dan berbeda pendapat. Setiap orang berhak untuk menentukan pilihan politiknya. Setiap orang berhak untuk memilih agamanya dan pekerjaannya. Setiap orang berhak untuk memilih agamanya dan menjalankan ibadah dan menjalankan amanat agamanya menurut peraturan agamanya dalam Kitab Sucinya.

Hadirnya Indonesia yang lebih baik mesti diperjuangkan dengan segenap tenaga, dan oleh segenap rakyat Indonesia. Kekristenan dalam hal ini orang Kristen harus menunjukkan partisipasi nyata, mengambil inisiatif, berperan proaktif, dan terus mengawal untuk mewujudkan Indonesia yang adil, maju, mandiri, makmur damai sejahtera dan dihormati (AM3H) oleh bangsa-bangsa di dunia. Berangkat dari realitas di atas, peran dan kesaksian kekristenan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk amat dibutuhkan dan merupakan sebuah kewajiban penuh.

Pdt DR Stephen Tong mengatakan bahwa minoritas selalu memiliki tempat yang penting dalam sejarah. Misalnya, Yusuf, Daniel, nabi-nabi, rasul-rasul, Yohanes Pembaptis, dan Yesus, adalah minoritas. Minoritas yang membentuk sejarah, asal saja minoritas itu mengetahui posisinya, visi, tugasnya, dan kemungkinan potensinya berkembang menjadi berkat mayoritas. Ketika minoritas berjuang untuk mayoritas, saat itu dia terlepas dari minoritas.

Orang Kristen adalah hati nurani masyarakat. Kalau orang Kristen tidak menjaga peranan sebagai hakim, hati nurani masyarakat, berarti tidak ada pengaruhnya di dunia. Dunia ini harus melihat patokan dan contoh. Masyarakat punya hati nurani, dan hati nurani itu adalah orang Kristen. Orang Kristen adalah hari nurani masyarakat sekalipun minoritas. Orang Kristen harus punya sikap yang benar-benar adil melihat segala sesuatu. Bila ada sesuatu yang tidak adil kita merasa terganggu, terluka, karena kita adalah hati nurani yang bisa melihat dan menilai dengan keadilan sebagai patokan.

10 Kita adalah ciptaan Allah, dan melalui Kristus Yesus, Allah membentuk kita supaya kita melakukan hal-hal yang baik yang sudah dipersiapkan-Nya untuk kitaEfesus 2:10

Setiap cabang pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya, dan setiap cabang yang berbuah, dikurangi daunnya dan dibersihkan-Nya supaya lebih banyak lagi buahnya. Kalian sudah bersih karena ajaran yang Kuberikan kepadamu. Tetaplah bersatu dengan Aku dan Aku pun akan tetap bersatu dengan kalian. Cabang sendiri tak dapat berbuah, kecuali kalau ia tetap pada pohonnya. Demikian juga kalian hanya dapat berbuah, kalau tetap bersatu dengan Aku. (Yoh 15:2-4)

19 Sebab itu pergilah kepada segala bangsa di seluruh dunia, jadikanlah mereka pengikut-pengikut-Ku. Baptiskan mereka dengan menyebut nama Bapa, dan Anak, dan Roh Allah. 20 Ajarkan mereka mentaati semua yang sudah Kuperintahkan kepadamu. Dan ingatlah Aku akan selalu menyertai kalian sampai akhir zaman." (Mat 28: 19-20).

22 Saya tidak melihat Rumah Allah di dalam kota itu, sebab Rumah Allahnya ialah Tuhan sendiri, Allah Yang Mahakuasa, dan Anak Domba itu. 23 Kota itu tidak perlu disinari matahari atau bulan, sebab keagungan Allah menyinarinya, dan Anak Domba itu adalah lampunya. 24 Bangsa-bangsa di dunia akan berjalan di dalam cahayanya, dan raja-raja pun akan membawa kekayaan mereka ke dalam kota itu. 
25 Pintu-pintu gerbang kota itu akan terbuka sepanjang hari; tidak akan ditutup, sebab tidak ada malam di situ. 26 Kebesaran dan kekayaan bangsa-bangsa akan dibawa ke dalam kota itu. 27 Tetapi orang yang melakukan hal-hal yang menjijikkan, atau orang yang berdusta--singkatnya apa pun yang najis, sekali-kali tidak akan masuk ke dalamnya. Yang akan masuk hanyalah orang yang namanya tertulis dalam Buku Orang Hidup, buku Anak Domba itu. (Wahyu 21: 22-27)