SELAMAT ULANG TAHUN INDONESIA
Indonesia
sebagai Negara bangsa
Proses panjang
Pembentukan Negara Bangsa Indonesia, yaitu dari Masa Kolonial Belanda ke Era
Orde Baru tahun 1980-an dan 1990-an. Konsep kebangsaan tetap sangat cair untuk
waktu yang lama tetapi secara bertahap mulai terbentuk setelah pengenalan
pendidikan barat untuk pribumi di era Kolonial Belanda dan mengambil bentuk
akhir di Era Orde Baru. Kompleksitas pembentukan negara-bangsa adalah karena
wilayah ini terdiri dari banyak suku, budaya, bahasa, agama, dan partai
politik. Identitas nasional mereka dimulai dari kesadaran etnis yang terbentuk
di Era Kolonial Belanda. Selama era pendudukan Jepang, formasi Negara Bangsa
Indonesia dilaksanakan sebagai Kurasawa mengatakan bahwa mereka telah
mempersiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Di era Soekarno, Indonesia masih
secara ideologis dibagi menjadi beberapa ideologi internasional seperti
Komunisme, Islamisme, dan ideologi nasional sekuler. Puncak saingan adalah
pecahnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965. Perubahan
besar terjadi dengan jatuhnya rejim Sukarno yang digantikan oleh Jenderal
Suharto. Suharto menyebut era Soekarno sebagai rezim orde lama dan menyebut
rejimnya sebagai Orde Baru. Stabilitas formasi Nasional Indonesia dipulihkan
dengan larangan Ideologi Internasional seperti Komunisme, memaksa militansi
Islam dan menggunakan Ideologi Nasional (Pancasila) sebagai Ideologi Nasional.
Lebih dua dasawarsa era reformasi
berjalan. Sejak Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru dijatuhkan pada 1998,
banyak perubahan terjadi di Indonesia, terutama dalam ranah politik. Salah satu perubahan besar yang terjadi
pasca-reformasi adalah pembatasan kekuasaan presiden. Pada era
Orde Baru, Soeharto dapat dipilih berkali-kali sebagai presiden tanpa ada
periode pembatasan.
Selain itu, wewenang presiden pada
era reformasi tak sekuat seperti di era Soeharto berkuasa selama 32 tahun.
Misalnya, presiden bukan lagi satu-satunya pihak yang punya kekuasaan untuk
membentuk undang-undang. Sesuai Pasal 5 UUD 1945, pasca-amandemen, presiden tak
lagi memiliki kekuasaan tunggal dalam pembentukan UU, tetapi hanya berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.
Sistem
demokrasi pun mulai diterapkan dengan baik di era reformasi. Hal yang paling
menonjol adalah sistem pemilihan umum yang memungkinkan presiden dipilih
langsung, tidak lagi dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui Sidang
Umum MPR. Kemudian, terdapat sejumlah perubahan lembaga negara. Dihilangkannya
Dewan Pertimbangan Agung sebagai penasihat presiden, menjadi salah satu
contohnya. Sebaliknya, di era reformasi, muncul sejumlah lembaga negara baru
seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Yudisial.
Dari
sisi kedaulatan, tuntutan masyarakat Timor Timur untuk merdeka menjadikan
Indonesia kehilangan provinsi termuda itu. Timor Timur pun berubah menjadi
negara merdeka bernama Timor Leste. Meski demikian, era reformasi juga
menyebabkan daerah memiliki wewenang yang lebih besar berkat dilaksanakannya
otonomi daerah.
MASA transisi
di era reformasi ditandai dengan perpindahan tongkat kekuasaan dari Presiden
Soeharto kepada wakilnya, Bacharuddin Jusuf Habibie pada 21 Mei 1998. Namun,
naiknya Habibie ke tampuk kekuasaan tak
lepas dari kritik lantaran dia dianggap sebagai bagian dari rezim Orde Baru.
Demonstrasi mahasiswa pun tak selesai, yang kali ini menuntut Habibie turun
dari kursi presiden. Salah satu alasan mahasiswa menuntut Habibie mundur adalah
karena dia dianggap tidak dapat menjalankan amanah reformasi, terutama
pengadilan untuk Soeharto.
Habibie
dapat dianggap ikut meletakkan fondasi awal dalam sistem demokrasi pada era
reformasi. Habibie juga dinilai berjasa dalam menghadirkan kebebasan
pers di Indonesia. Di bidang ekonomi, Habibie ikut memprakarsai Bank
Indonesia yang independen dan lepas dari pengaruh pemerintah. Terkait
politik elektoral, Habibie menghasilkan tiga undang-undang demokratis.
Pemilihan
presiden yang dilakukan oleh anggota MPR hasil Pemilu 1999 menempatkan Ketua
Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid yang berpasangan dengan Ketua Umum PDI-P
Megawati Soekarnoputri sebagai wakil menjadi pemegang tampuk pemerintahan.
Pada masa Orde Baru, masyarakat Tionghoa mengalami diskriminasi yang membuat
mereka tidak bisa mengekspresikan budaya dan keyakinannya. Presiden
Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Atas nama asimilasi, Orde Baru melarang
masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan keyakinannya di depan umum. Dengan
demikian, masyarakat Tionghoa hanya boleh melaksanakan ibadah atau merayakan
hari besar seperti Imlek di lingkungan internal, yaitu keluarga.
Di masa Presiden
Abdurrahman Wahid, kebijakan itu dihapus. Gus Dur, sebutan penghormatan untuk
Abdurrahman, merilis Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres
Nomor 14 Nomor 1967. Setelah itu, masyarakat Tionghoa pun diperbolehkan
mengekspresikan keyakinan, termasuk merayakan Imlek di depan publik. Tidak
hanya itu, Imlek pun dijadikan hari libur nasional.
REFORMASI menjadi pintu
masuk untuk dilakukannya amandemen terhadap sejumlah pasal dalam UUD 1945.
Pasal-pasal yang dinilai kurang demokratis, seperti memberi kekuasaan terlalu
besar kepada eksekutif, menjadi prioritas untuk diamandemen. Pasca-reformasi,
Indonesia tercatat melakukan empat kali amandemen.
Inti
dari amandemen pertama ialah membonsai wewenang eksekutif yang sebelumnya
dinilai terlalu besar. Amandemen kedua sekaligus menjadi tonggak
dimulainya otonomi daerah dengan pengesahan Pasal 18. Pasal tersebut kini
mengakui pemerintahan daerah yang berdaulat dan dipilih melalui pemilihan
kepala daerah (pilkada) serta memiliki DPRD yang dipilih lewat pemilu. Selain itu,
amandemen kedua menjadi tonggak untuk memasukkan definisi hak asasi manusia
dalam dasar hukum di Indonesia, yaitu perluasan Pasal 28.
Perubahan
utama dalam amandemen ketiga ialah pemilu presiden yang tak lagi melalui MPR,
tetapi langsung melalui rakyat. Ini terjadi dalam amandemen Pasal 1 dan Pasal
6A. Hal ini sekaligus mengubah kewenangan MPR yang tak lagi menjadi lembaga
tertinggi. Amandemen juga mengatur mengenai mekanisme pencopotan presiden atau impeachment. Dapat dibilang bahwa amandemen ini
berkaca pada pencopotan Presiden Abdurrahman Wahid pada 23 Juli 2001 dengan
mekanisme yang terbilang mudah, sehingga dikhawatirkan terjadi ketidakstabilan
politik.
Amandemen yang
menghasilkan Pasal 24 juga mengamanahkan pembentukan Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial.
Perubahan utama
dalam amandemen keempat ialah pembentukan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai unsur di MPR dan dipilih melalui Pemilu. Amandemen
juga mengamanahkan penghapusan lembaga DPA. Selain itu, memunculkan amanah UUD
1945 terkait kesejahteraan rakyat seperti pendidikan, kebudayaan, dan
kesehatan.
Pada
era Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah dan DPR mengesahkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Undang-undang itu menjadi dasar pembentukan KPK, yang hingga kini
ditakuti para koruptor. Sejak berdiri pada 2002, KPK pernah menangkap hingga
memproses hukum sejumlah pejabat elite, mulai dari menteri, ketua lembaga
negara, ketua umum partai politik, hakim, hingga kepala daerah.
Kebijakan mengenai
otonomi daerah merupakan amanah amandemen kedua UUD 1945, tepatnya pada Pasal
18. Pasal itu mengatur bahwa kedaulatan pemerintahan daerah diakui. Konsekuensinya,
pemerintah bersama DPR segera menyusun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Aturan ini secara lebih detail mengatur bahwa
daerah dapat secara optimal mengelola sumber daya alamnya.
Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) yang muncul sejak Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM) pada era
Orde Baru akhirnya berdamai dengan pemerintah Indonesia. Perjanjian
damai antara Pemerintah Indonesia dan GAM itu antara lain memuat permintaan GAM
agar Aceh memiliki undang-undang pemerintahan sendiri serta pendirian partai
lokal. Kedua permintaan itu terpenuhi, menghasilkan Qanun dan partai lokal Aceh.
PEMILU presiden
(Pilpres) langsung menjadi tonggak sejarah bagi Indonesia pasca-reformasi.
Indonesia pun mencatat sejarah karena presiden dapat dipilih berdasarkan sistem
satu orang mewakili satu suara, alias one man
one vote. Proses hingga berlangsungnya pilpres diawali dengan
amandemen kedua UUD 1945 terhadap Pasal 6A. Dalam pasal itu diatur bahwa
presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Hasilnya,
Pemilu 2004 yang menggunakan sistem pilpres langsung dimenangkan oleh pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla, melalui dua putaran pemilu.
Badan Pusat Statistik (BPS)
melaporkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada tahun 2018 mencapai 71,39.
Angka itu meningkat 0,58 poin atau tumbuh sebesar 0,82% dibandingkan 2017. Indeks Pembangunan Manusia yang Terus Naik di Era Jokowi. SMRC menyatakan bahwa era pemerintahan lebih
demokratis di mata masyarakat dibanding era kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono (). Hal itu merujuk dari hasil survei yang melibatkan
ribuan responden dari seluruh wilayah Indonesia secara acak.
Presiden
Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla hampir menyelesaikan masa
tugasnya di pemerintahan. Tidak ditampik, dalam kepemimpinannya, banyak
perubahan positif yang dilakukan, salah satunya dalam aspek perekonomian. Hal
itu bisa dilihat dari kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) di 2014 hingga
sekarang ini. Sejak dilantik sebagai orang nomor satu di Indonesia atau
tepatnya pada 20 Oktober 2014, Jokowi memang cukup fokus terhadap perekonomian.
Pembangunan infrastruktur yang masif menjadi di antara agenda utamanya termasuk
pemerataan pembangunan di seluruh wilayah di Indonesia. Harapannya, tercipta
keberlanjutan pertumbuhan di masa mendatang.
Dampak
pembangunan ekonomi terlihat dalam beberapa indikator perekonomian, baik
tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, gini ratio, hingga
PDB Indonesia. Terkait dengan PDB, terpantau terus meningkat seiring dengan
sejumlah kebijakan yang masif diluncurkan oleh Pemerintahan Jokowi.
Pandangan
Kristen tentang negara-bangsa
Ketika membahas pandangan Kristen
tentang negara-bangsa, pertama-tama kita harus mengakui kebaruan sejarah
mereka. Sementara para penulis Alkitab tahu betul tentang kelompok-kelompok
orang dan kekuatan politik, konsep negara-bangsa modern yang berorientasi
demokratis akan asing bagi mereka. Dengan mengingat hal ini, kita dapat mulai
melihat apa yang dikatakan kitab suci tentang tempat bangsa (kelompok
masyarakat) dan negara (entitas politik secara umum), pendahulu sejarah
negara-bangsa kita. Saya akan melihat tiga poin utama yang berkaitan dengan
cara teks Alkitab merujuk pada kedua negara dan bangsa, yang meliputi:
1)
sifat dari entitas-entitas di dunia
yang jatuh,
2)
bagaimana mereka dapat bekerja untuk
tujuan yang baik dalam perjalanan Pemulihan Tuhan dan bagaimana mereka sering
membungkuk ke arah tujuan jahat oleh manusia, dan
3)
takdir eskatologis mereka dalam
Ciptaan Baru.
1. Pertama dengan sifat bangsa dan
negara.
Hampir setiap struktur sosial-politik
dalam sejarah diberlakukan setelah Kejatuhan. Terlepas dari bagaimana seseorang
membaca Kejadian, sisa narasi alkitabiah memandang semua struktur sosial dan
politik sebagai yang dipengaruhi oleh sifat kejatuhan dunia. Satu-satunya
bentuk pemerintahan yang dapat kita lihat sebelum Kejatuhan adalah bentuk
teokrasi murni, dengan Allah Pencipta sebagai penguasa yang sah atas ciptaan,
dan manusia sebagai wakil yang membawa gambar Allah. Memang, hanya setelah Kain
membunuh Habel, narasi Alkitab memperkenalkan konsep kota dan kelompok politik
orang, di mana hati mereka didominasi oleh kejahatan (Kejadian 4: 17-6: 7).
Ketika manusia terus menghancurkan
dunia baik Tuhan, Dia terus membawa kebaikan dari kekacauan kita. Setelah Air
Bah, Allah memberikan undang-undang yang menentang pembunuhan dan memunculkan
banyak bangsa dari keturunan putra Nuh (Kej. 10). Sekali lagi, terlepas dari
bagaimana seseorang membaca Kejadian 1–11, intinya adalah sama: keluar dari
kekacauan umat manusia yang Allah hasilkan baik. Tetapi bangsa dan negara masih
salah.
Kisah Menara Babel berakhir dengan
orang-orang yang berkumpul menjadi kerajaan proto ("Babel" dalam
bahasa Ibrani adalah kata yang sama untuk Babel) mencoba dan mengangkat diri
mereka ke tingkat Penguasa sejati. Tuhan tidak membiarkan ini terjadi. Pola ini
terus berlanjut sepanjang perjalanan Perjanjian Lama.
Bangsa dan negara dapat digunakan oleh
Allah untuk membawa kebaikan dari kekacauan kita yang jatuh. Namun jika mereka
berhenti mendengarkan Sang Pencipta, pola penindasan dan perebutan kekuasaan
berulang. Israel diselamatkan dari Mesir sehingga mereka dapat dipimpin oleh
Pencipta yang membuat perjanjian dengan nenek moyang mereka. Namun Israel meminta
raja manusia seperti semua bangsa lain. Raja-raja Israel akhirnya menjadi
seperti kerajaan jahat yang mereka selamatkan. Dan begitulah seterusnya
jalannya narasi Alkitab.
Manusia memelintir struktur sosial-politik,
yang Tuhan berikan sebagai konsesi untuk kebaikan, untuk tujuan jahat. Hanya
ketika Allah sendiri tiba di tempat kejadian dalam pribadi Yesus dari Nazareth,
raja manusia pertama yang benar-benar baik di dunia terlihat.
Inti dari ringkasan ini sederhana.
Bangsa-bangsa dan negara-negara dihadirkan dalam perjalanan Pemeliharaan Tuhan
untuk tujuan baik. Memang, tidak peduli kejahatan apa yang kita hasilkan dalam
keegoisan dan pandangan picik kita, Tuhan akan selalu membawa kebaikan darinya.
Bangsa dan negara (dan dengan perluasan yang logis, negara bangsa modern) dapat
digunakan untuk tujuan baik. Itu adalah kebenaran tragis sejarah, bahwa Negara bangsa
lebih sering membungkuk untuk melayani hasrat yang jatuh.
Secara Alkitabiah sejarah bangsa, akan
melanjutkan Penciptaan Baru, dalam penyembahan kepada Allah Tritunggal. Dalam
Wahyu 7: 9–10, Yohanes Sang Pelihat melihat 9 Kemudian dari pada
itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak
dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa,
berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan
memegang daun-daun palem di tangan mereka. 10 Dan dengan suara
nyaring mereka berseru: "Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas
takhta dan bagi Anak Domba!"
Demikian juga, menjelang akhir visi
eskatologis, Yohanes melihat Yerusalem Baru yang ditandai oleh bangsa-bangsa
dan raja-raja di bumi "berjalan dengan cahayanya" dan "membawa
kemuliaan mereka ke dalamnya." Yang perlu diperhatikan adalah bahwa kedua
bangsa dan negara (dalam satu bentuk atau lainnya) akan tetap menjadi Ciptaan
Baru. Namun, mereka ditebus, diorientasikan, dan ditundukkan pada aturan yang
adil dari Allah Pencipta dan Kristus di atas takhta.
Prinsip-prinsip ini tetap sama untuk
negara-bangsa modern, termasuk Indonesia. Tuhan dapat dan memang membawa
kebaikan dari mereka, terutama ketika mereka bertindak dan beroperasi dengan
adil. Namun, kejatuhan manusia dapat dan sering kali melemahkan struktur dan
kelompok ini menjadi penindas sistemik bagi mereka yang lemah dan tidak
berdaya. Maka orang Kristen harus selalu memiliki hubungan tentatif terhadap
negara-bangsa. Mereka adalah entitas terbatas yang muncul dari kemungkinan
sejarah dan, kecuali kedatangan Kristus, akan memudar kembali ke catatan
sejarah. Hanya Kristus dan Kerajaan-Nya saja yang abadi. Selama kita
mempertahankan hal itu di garis depan pikiran kita, kita mungkin hanya dapat
terlibat dengan benar dengan negara-bangsa modern sebagaimana mereka
dimaksudkan dalam Pemeliharaan Tuhan.
Kehidupan
keagamaan di Indonesia
Agama merupakan
keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang harus dimiliki oleh setiap manusia.
Agama dibedakan menjadi Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Khong Hu Chu,
dan Agama Lainnya. Agama berguna dalam menentukan kebijakan yang berkaitan
dengan kerukunan umat beragama, contoh: kebijakan Kementerian Agama dalam
pembangunan tempat-tempat ibadah beragama, untuk memelihara dan menyuburkan
kesadaran umat dalam menghayati dan melaksanakan ajaran-ajarannya. Termasuk
dalam acara agama: Sepercik Iman Pembasuh Kalbu, Terjemahan Al-Quran, Mimbar
Agama Islam, Mimbar Agama Katolik, Mimbar Agama Protestan.
Agama di Indonesia memegang
peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi
bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini
adalah kompromi antara gagasan negara Islam dan negara sekuler.
Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif
terhadap politik, ekonomi dan budaya. Menurut
hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk
Indonesia adalah pemeluk Islam (Nusantara merupakan negara dengan
penduduk muslim terbanyak di dunia), 6,96% Protestan, 2,9% Katolik,
1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Konghucu, 0,13% agama lainnya,
dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.
Dalam Undang-Undang
Dasar 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan
untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin
semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau
kepercayaannya". Dalam Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, bagaimanapun, secara resmi
hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan
Khonghucu. Baru-baru ini, aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) telah
diakui pula sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tertanggal
7 November 2017. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di
Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu,
kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar
kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung
telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
Reformasi berjalan, tetapi rakyat
seperti tidak mendapat manfaat apa-apa. Padahal reformasi dimaksudkan agar ada
perubahan mendasar dalam kehidupan politik dan ekonomi masyarakat. Kehidupan
politik yang lebih demokratis juga tidak sejalan dengan rasa nyaman beragama.
Eskalasi kekerasan atas nama agama terus meningkat setelah masa reformasi.
Dalam berbagai pertistiwa kekerasan karena fundamentalisme agama, negara justru
seolah absen.
Kelompok-kelompok
masyarakat tertentu begitu saja dengan mudah menyerang kelompok masyarakat lain
yang tidak seagama, tidak sealiran atau sepaham. Warga Ahmadiyah dan syiah
merupakan kelompok yang menjadi sasaran kekerasan. Di sejumlah daerah, rumah
dan tempat ibadah mereka dihancurkan, sering kali juga diikuti pembunuhan.
Gubernur
Jawa Barat Ahmad Heryawan mengeluarkan pernyataan yang mencerminkan bahwa
pemerintah tidak berdiri di atas semua golongan. Pemerintah gamang menerapkan
konstitusi dan lebih takluk kepada tekanan kelompok garis keras dan intoleran. Menanggapi
kasus penyerangan tempat ibadah Ahmadiyah di Bandung beberapa waktu lalu,
Heryawan justru mengatakan “Ahmadiyah hilang, masalah hilang.” Menafikan
kenyataan bahwa pembuat masalah bukan kelompok yang ingin menjalankan
ibadahnya, tetapi kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan karena tidak
tahan hidup berdampingan dalam kedamaian.
Aktivis
kebebasan beragama Romo Antonius Benny Susetyo mengatakan reformasi justru
menjadi anacaman dalam kebebasan beragama. Pemerintah yang seharusnya
melindungi dan menjamin kebebasan sesuai Pasal 29 UUD 1945 malah gagal
menjalankan perannya. “Ketika hukum tidak jadi syarat demokrasi, yang terjadi
justru tunduk terhadap premanisme,” papar Romo Benny. Hal ini menurut Romo
Benny tidak terlepas dari politik transaksional. Elite-elite politik dan
perilaku seperti Orde Baru masih sama, hanya berganti baju saja. Politik
centeng tetap berjalan. Dikuasai jawara-jawara lokal yang membuat lingkar
kekerasan tidak pernah putus.
Pada
masa refromasi juga kita mendengar kabar berbagai penutupan atau pelarangan
aktivitas kelompok-kelompok yang tidak sepaham dengan aliran yang lebih
mayoritas. Rumah-rumah mereka dihancurkan. Penyebabnya adalah karena perbedaan
keyakinan dengan sebagian besar warga sekitarnya.
Ketua
Setara Institute Hendardi, selama masa kepemimpinan SBY, praktik intoleransi
jutsru meningkat. Menurutnya, tidak ada kemauan politik SBY untuk menyelesaikan
masalah intoleransi ini. Ini menurut Hendardi karena tidak ada penegakan hukum
yang tegas dari pemerintah. Bahkan kadang intoleransi tersebut digunakan untuk
kepentingan tertentu. Menurut catatan Setara Institute, kekerasan yang terjadi
antara penganut keyakinan selama 2007 saja ada 135 kasus, pada 2009 meningkat
menjadi 200 kasus. Jumlah itu meningkat lagi menjadi 216 kasus di 2010. Pada
2011, kekerasan meningkat menjadi 244 kasus, dan 2012 mencapai 264 kasus.
(Sinar Harapan)
Presiden
Jokowi kembali menekankan ancaman radikalisme di Indonesia. Jokowi meminta
masyarakat tetap menjaga persatuan meski berbeda pilihan politik dalam pilkada
maupun Pilpres. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan
setidaknya terdapat dua penyebab timbulnya radikalisme dalam menjalankan agama.
Pertama, karena wawasan yang terbatas. Kedua, merupakan respons atas
ketidakadilan ketika seseorang menyikapi realitas kehidupan.
Banyak pengamat dan tokoh politik di
Indonesia heran ketika isu Islam Radikal semakin kencang terdengar dalam
beberapa tahun belakangan ini. Bila dicermati dalam periode paska
reformasi, tampaknya dalam era pemerintah Jokowi istilah
Islam Radikal lebih sering disebut dan diucapkan dibandingkan era pemerintahan
sebelumnya. Bukan hanya masyarakat, pejabat negara bahkan presiden Jokowipun
saat ini getol menyebut Islam Radikal dengan mudahnya.
Muncul label seperti Islam radikal, Ormas Radikal,
Salafi radikal, atau yang agak umum radikalisme agama. Media Wall Street Journal
dalam ulasannya artikel yang berjudul "Hard-Line Strain of Islam Gains
Ground in Indonesia, World's Largest Muslim Country" mengungkapkan uajaran
yang berkonotasi negatif dengan mengatakan terjadi kebangkitan Islam garis
keras dan radikal dalam Pilkada Jakarta untuk menggulingkan gubernur beragama
Kristen.
SBS Australia, menulis: "Jakarta election: Radical
Islam tested 'if Ahok wins'" yang melabeli Islam Radikal dalam peristiwa
Pilkada Dki Jakarta. Kantor berita Reuters pun demikian. Beberapa tulisannya
sebelum, saat dan sesudah pilkada DKI Jakarta menggambarkan soal kebangkitan
ekstremisme dan radikalisme Islam dalam perhelatan politik itu.
Reuters juga mengatakan bahwa kelompok radikalisme Islam
telah menjadi kekuatan yang besar di Jakarta, dan akan digunakan untuk
pemilihan presiden 2019 mendatang. Media Amerika Serikat, USA Today, CNN dan
New York Times, yang bernada sama ketika memberitakan pilkada DKI Jakarta.
Bahkan kemenangan Pilkada DKI Jakarta Anis Sandi juga dianggap oleh beberapa media
Barat dan sekelompok golongan di Indonesia adalah kemenangan Islam Radikal.
Salah satunya adalah media Wall Street Journal dalam tulisannya yang berjudul
"Hard-Line Strain of Islam Gains Ground in Indonesia, World's Largest
Muslim Country" yang mengulas tentang kebangkitan Islam garis keras dalam
Pilgub Jakarta untuk menggulingkan gubernur beragama Kristen.
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum
dan HAM mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dengan
demikian, HTI resmi dibubarkan pemerintah. Pencabutan dilakukan sebagai
tindaklanjut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017
yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
"Maka dengan mengacu pada ketentuan Perppu tersebut terhadap status badan
hukum HTI dicabut," ujar Dirjen AHU Kemenkumham Freddy Harris dalam jumpa
pers di gedung Kemenkumham, Jakarta, Rabu (19/7/2017).
Wiranto saat itu memaparkan tiga alasan pemerintah
membubarkan HTI. Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan
peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai
tujuan nasional. Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah
bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD
Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Ketiga, aktifitas yang dilakukan HTI dinilai
telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan
ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
Peran Masyarakat Kristen Indonesia
Orang
Kristen lahir di bumi Indonesia, memiliki negara Indonesia, dan oleh karenanya
juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia. Diakui atau
tidak, umat Kristen memiliki andil yang cukup besar dalam melahirkan dan
mempertahankan Republik Indonesia. Banyak orang Kristen yang telah gugur
sebagai kusuma bangsa, meskipun nama-nama mereka tidak ditemukan di makam-makam
pahlawan.
Sejak
tahun 1945 sampai sekarang, masyarakat Kristen belum pernah absen dari
perjuangan mengisi pembangunan bangsa. Sebagai warga negara yang bertanggung
jawab, orang Kristen tetap berusaha memelihara iman dan berjuang dengan gigih
menegakkan kebenaran dan keadilan seperti yang dimandatkan oleh Yesus Kristus.
Statusnya sebagai warga Kerajaan Allah telah dibuktikan dalam kehadirannya
sebagai pelaku firman yang tidak berkompromi dengan kejahatan.
Maka
sebagai murid Yesus, orang Kristen harus berusaha keras menjadi garam dan
terang. Mereka bertanggung jawab terhadap maju dan mundurnya negara Indonesia.
Mereka tidak hanya berjuang untuk mendapatkan kekuasaan politik tetapi juga
melaksanakan terjadinya revolusi intelektual agar seluruh masyarakat Indonesia
bisa memiliki kemampuan intelektual dalam semua disiplin ilmu. Dengan ini,
mereka berperan serta dalam membangun masyarakat baru, sebagai wujud Kerajaan
Allah di bumi yang berasaskan kebenaran, damai sejahtera, sukacita dan kuasa
oleh Roh Kudus. (Roma 14:17, 1 Kor 4:20).
Pendidikan
menjadi kebutuhan prioritas seluruh rakyat Indonesia. Dengan pendidikan yang
memadai bangsa Indonesia akan diberanikan memasuki abad ke-21 yang dikenal
sebagai abad informasi. Masa depan Indonesia tergantung sepenuhnya kepada
kualitas bangsa Indonesia. Kualitas bangsa Indonesia akan ditentukan oleh
kecerdasan masyarakatnya. Kecerdasan bangsa Indonesia juga akan ditentukan oleh
suatu pendidikan. Pada abad ke-21 dibutuhkan orang-orang yang berkualitas
tinggi.
Untuk
itu, Gereja mempunyai peranan yang sangat dominan sebagai upaya ikut
mencerdaskan bangsa. Dalam sektor ini, partisipasi Kristen akan sangat
menentukan, bukan hanya untuk pendidikan di kota-kota besar, tetapi juga di
desa-desa yang terpencil di seluruh Indonesia. Salah satu tugas panggilan
Gereja adalah mengembangkan ketrampilan masyarakat agar mampu mencukupi
kebutuhannya sendiri. Orang Kristen sebagai warga gereja dan juga sebagai warga
negara bertanggung jawab mengubah masyarakat Indonesia menjadi masyarakat maju
yang ber-Pancasila.
Di
bawah terang prinsip harkat dan martabat manusia, Gereja dan orang Kristen
harus mengakui dan melindungi hak-hak asasi dari manusia sebagai ciptaan Allah
yang diberikan kebebasan untuk memilih, bersekutu dan beribadah dan perintah Kitab
Suci secara holistic (pembangunan, kasih, pemuridan). Setiap orang juga berhak
berbicara, bersuara dan berbeda pendapat. Setiap orang berhak untuk menentukan
pilihan politiknya. Setiap orang berhak untuk memilih agamanya dan
pekerjaannya. Setiap orang berhak untuk memilih agamanya dan menjalankan ibadah
dan menjalankan amanat agamanya menurut peraturan agamanya dalam Kitab Sucinya.
Hadirnya
Indonesia yang lebih baik mesti diperjuangkan dengan segenap tenaga, dan oleh
segenap rakyat Indonesia. Kekristenan dalam hal ini orang Kristen harus
menunjukkan partisipasi nyata, mengambil inisiatif, berperan proaktif, dan
terus mengawal untuk mewujudkan Indonesia yang adil, maju, mandiri, makmur damai sejahtera dan dihormati (AM3H) oleh
bangsa-bangsa di dunia. Berangkat dari realitas di atas, peran dan kesaksian
kekristenan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk amat dibutuhkan
dan merupakan sebuah kewajiban penuh.
Pdt DR Stephen Tong mengatakan bahwa minoritas selalu memiliki tempat yang penting dalam sejarah. Misalnya, Yusuf, Daniel, nabi-nabi, rasul-rasul, Yohanes Pembaptis, dan Yesus, adalah minoritas. Minoritas yang membentuk sejarah, asal saja minoritas itu mengetahui posisinya, visi, tugasnya, dan kemungkinan potensinya berkembang menjadi berkat mayoritas. Ketika minoritas berjuang untuk mayoritas, saat itu dia terlepas dari minoritas.
Orang
Kristen adalah hati nurani masyarakat. Kalau orang Kristen tidak menjaga
peranan sebagai hakim, hati nurani masyarakat, berarti tidak ada pengaruhnya di
dunia. Dunia ini harus melihat patokan dan contoh. Masyarakat punya hati
nurani, dan hati nurani itu adalah orang Kristen. Orang Kristen adalah hari
nurani masyarakat sekalipun minoritas. Orang Kristen harus punya sikap yang
benar-benar adil melihat segala sesuatu. Bila ada sesuatu yang tidak adil kita
merasa terganggu, terluka, karena kita adalah hati nurani yang bisa melihat dan
menilai dengan keadilan sebagai patokan.
10 Kita adalah ciptaan Allah, dan melalui Kristus Yesus, Allah
membentuk kita supaya kita melakukan hal-hal yang baik yang sudah
dipersiapkan-Nya untuk kita. Efesus 2:10
2 Setiap cabang pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya, dan
setiap cabang yang berbuah, dikurangi daunnya dan dibersihkan-Nya supaya lebih
banyak lagi buahnya. 3 Kalian sudah bersih karena ajaran yang Kuberikan kepadamu. 4 Tetaplah bersatu dengan Aku dan Aku pun akan tetap bersatu
dengan kalian. Cabang sendiri tak dapat berbuah, kecuali kalau ia tetap pada
pohonnya. Demikian juga kalian hanya dapat berbuah, kalau tetap bersatu dengan
Aku. (Yoh 15:2-4)
19 Sebab itu pergilah kepada segala bangsa di seluruh dunia,
jadikanlah mereka pengikut-pengikut-Ku. Baptiskan mereka dengan menyebut nama
Bapa, dan Anak, dan Roh Allah. 20 Ajarkan mereka mentaati semua yang sudah Kuperintahkan
kepadamu. Dan ingatlah Aku akan selalu menyertai kalian sampai akhir zaman."
(Mat 28: 19-20).
22 Saya tidak melihat Rumah Allah di dalam kota itu, sebab Rumah
Allahnya ialah Tuhan sendiri, Allah Yang Mahakuasa, dan Anak Domba itu. 23 Kota itu tidak perlu disinari matahari atau bulan, sebab
keagungan Allah menyinarinya, dan Anak Domba itu adalah lampunya. 24 Bangsa-bangsa di dunia akan berjalan di dalam cahayanya, dan
raja-raja pun akan membawa kekayaan mereka ke dalam kota itu.
25 Pintu-pintu gerbang kota itu akan terbuka sepanjang hari; tidak akan ditutup, sebab tidak ada malam di situ. 26 Kebesaran dan kekayaan bangsa-bangsa akan dibawa ke dalam kota itu. 27 Tetapi orang yang melakukan hal-hal yang menjijikkan, atau orang yang berdusta--singkatnya apa pun yang najis, sekali-kali tidak akan masuk ke dalamnya. Yang akan masuk hanyalah orang yang namanya tertulis dalam Buku Orang Hidup, buku Anak Domba itu. (Wahyu 21: 22-27)
25 Pintu-pintu gerbang kota itu akan terbuka sepanjang hari; tidak akan ditutup, sebab tidak ada malam di situ. 26 Kebesaran dan kekayaan bangsa-bangsa akan dibawa ke dalam kota itu. 27 Tetapi orang yang melakukan hal-hal yang menjijikkan, atau orang yang berdusta--singkatnya apa pun yang najis, sekali-kali tidak akan masuk ke dalamnya. Yang akan masuk hanyalah orang yang namanya tertulis dalam Buku Orang Hidup, buku Anak Domba itu. (Wahyu 21: 22-27)