Kamis, 31 Agustus 2017

EKONOMI KERAKYATAN Catatan 7

EKONOMI KERAKYATAN Catatan 7
Mahli Sembiring

Terpuruknya perekonomian nasional akibat krisis memang disebabkan banyak faktor, di antaranya adalah:

  • kuatnya intervensi negara atau
  • dalam sistem politik yang tidak demokratis,
  • telah mengahasilkan “kegagalan pemerintah” atau government failure (Saidi, 1998:171) dalam
  • bentuk praktik KKN, di samping
  • pola kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik yang
  • menyebabkan fundamen perekonomian nasional menjadi keropos.

Sistem politik korporatis yang diterapkan pemerintah orde baru telah menyuburkan praktik ekonomi yang klientelistik, tidak transparan dan manipulatif. Sehingga yang dibutuhkan pada waktu itu adalah memeriksa kembali asumsi dasar perekonomian yang selama ini kita percayai dan mencoba memikirkan ulang tentang sistem ekonomi alternatif yang lebih mengutamakan pemerataan kue pembangunan secara lebih demokratis, jujur dan transparan. Karena bagaimanapun juga yang menduduki ranking tertinggi korban krisis ini adalah rakyat Indonesia, di luar pemerintahan dan swasta.

Pada dasarnya strategi sistem ekonomi Indonesia pasca kemerdekaan cenderung menggunakan model atau sistem ekonomi neo-keynesian (Saidi, 1998: 74). Dimana penekanan terletak pada pentingnya pertumbuhan ekonomi dangan sebuah “dorongan kuat“ adanya driver atau leading sector dan direncanakan secara tersentralisasi melalui mekanisme pasar (liberal). Akibat terlalu kuatnya “dorongan eksternal” menjadikan Indonesia menjadi kelompok negara pengutang terbesar di dunia. Sehingga dari kebijakan yang kapitalistik tersebut menyebabkan Indonesia terjebak serta menjadi korban dari sistem kapitalisme internasional itu sendiri (Mubyarto, 1999: 2-3).

Ada kecenderungan sistem ekonomi kerakyatan yang telah diperjuangkan oleh The Founding Fathers Republik Indonesia akan ditinggalkan oleh pemerintah pada waktu itu (Pemerintahan Rezim Suharto). Ada kecenderungan untuk meninggalkan demokrasi ekonomi dalam arti kata yang sebenarnya. “Demokrasi politik” telah dijadikan wahana untuk memperalat rakyat dan kembali menjadi tumbal keserakahan dan kesombongan krooni penguasa (pengusaha serakah yang menjadi konglomerat) saat itu.

Indonesia yang merdeka dapat dikatakan merupakan replika dari Indonesia yang terjajah pada zaman kolonial Belanda. Indonesia terus merupakan pemasok surplus ekonomi yang setia kepada pihak asing. Elit kekuasaan dan para birokrat telah berperanan langsung atau tidak langsung sebagai kolaborator terpercaya dan setia dalam mendukung kepentingan kelompok kuat. Sebagian dari surplus ekonomi yang diraih kelompok kuat dalam proses tukar-menukar dengan kelompok lemah ikut dinikmati oleh elit kekuasaan dan para birokrat sebagai imbalan untuk peranan mereka yang mendukung kepentingan kelompok tersebut. Dukungan itu berupa alokasi sumber daya dalam bentuk perijinan dan perlindungan dari aparat serta oknum-oknum, dan mereka ini diberi imbalan berbagai kenikmatan dari bentuk uang, barang sampai perlakuan istimewa lainnya.

Ini menunjukkan bahwa pemerintahan pada waktu itu tidak memihak kepada rakyat banyak, terutama rakyat yang tertindas. Surplus ekonomi yang membesar untuk kelompok kuat beserta

pendukung-pendukungnya atas korban kelompok lemah yang merupakan mayoritas akhirnya membentuk lingkaran kemiskinan yang tak berujung bagi kelompok lemah. Inilah masalah mendasar kelompok lemah. Inilah masalah mendasar yang dihadapi oleh ekonomi rakyat Indonesia. Jadi rakyat Indonesia miskin dan lemah karena memang dimiskinkan oleh Negara bekerjasama dengan swasta asing dan nasional. Negara telah menjajah rakyatnya.