EKONOMI KERAKYATAN, Catatan
1
Mahli Sembiring
Sistem ekonomi adalah
cara suatu negara mengatur kehidupan ekonominya dalam rangka mencapai
kemakmuran. Pelaksanaan sistem ekonomi suatu negara tercermin dalam keseluruhan
lembaga-lembaga ekonomi yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Sistem perekonomian negara dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain ideologi/falsafah hidup bangsa, sifat dan jati diri bangsa, serta struktur
ekonomi.
Bung Hatta telah
menunjukkan kedudukan ekonomi rakyat yang terjepit oleh pengaruh kapitalisme
kolonial yang menyengsarakan rakyat – Bung Hatta-lah yang pertama kalinya
menggunakan istilah “ekonomi rakyat” (Daulat Ra’jat, 20 November 1931). (Daulat Ra’jat, 10 Januari 1934) Hatta
menulis “Ekonomi Rakyat dalam Bahaya”, konsisten dengan peringatannya yang ia
tulis pada tahun 1931.
Pada tahun 1934, Bung
Hatta sebagai salah seorang pendiri Republik Indonesia menulis “Ekonomi Rakyat
dalam Bahaya”. Tulisan Bung Hatta ini
telah menjadi dasar konsep ekonomi kerakyatan sebagai tandingan untuk
mengenyahkan sistem ekonomi kolonial Belanda yang didukung/dibantu oleh kaum aristokrat
dalam sistem feodalisme di dalam negeri dan pihak-pihak
swasta asing tertentu
sebagai komparador pihak kolonial Belanda. Usaha untuk mengenyahkan sistem
kolonial ini adalah landasan utama perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Orang yang memahami sejarah ekonomi Indonesia harus mengetahui bahwa penjajahan
Belanda di Indonesia di bidang ekonomi berintikan modal kolonial (koloniaal-kapitaal) yang bermula dari
kolonialisme VOC dan cultuurstelsel, pelaksanaan Undang-Undang Agraria 1870 sampai
beroperasinya investasi swasta asing lainnya dari benua Barat (Hatta, 1931).
Bung Hatta mengemukakan
keadaan struktur sosial-ekonomi pada zaman kolonial Belanda di Indonesia yang
menunjukkan golongan rakyat pribumi yang merupakan mayoritas menempati stratum terbawah dalam struktur
sosial-ekonomi. Ekonomi rakyat di mana massa pribumi menggantungkan hidup
mereka berada dalam posisi tertekan sebagai stratum terbawah dalam konstelasi
ekonomi.
Observasi Hatta secara
jelas menghendaki suatu reformasi sosial agar pelaku-pelaku ekonomi rakyat
dapat berperanan atau punya posisi tawar yang kokoh dalam hubungannya dengan
para pelaku sektor ekonomi modern dengan konco-konconya yang secara langsung
melakukan proses eksploitasi (para pedagang pengumpul, tengkulak, rentenir,
elit pedesaan – dengan dukungan camat, polisi, Koramil, para pengusaha warung,
preman-preman dan para jagoan di desa-desa dan lain-lain). Reformasi sosial ini
mengandung pengertian koreksi terhadap dialektik hubungan ekonomi secara
fundamental sehingga diperoleh hubungan ekonomi yang adil antara pelaku ekonomi
di dalam masyarakat. Sampai sekarang, Indonesia tidak melakukan suatu reformasi
social sehingga dialektik hubungan ekonomi antara para aktor ekonomi kuat dengan
para aktor ekonomi lemah tetap seperti yang telah berlangsung sejak zaman
kolonial Belanda (Sritua Arief, 1995 dan Lukman Soetrisno, 1995).