Kamis, 19 Juli 2012

EKONOMI KRISTEN: BUDAYA MASYARAKAT


EKONOMI KRISTEN: BUDAYA MASYARAKAT

Memahami Masalah

Sebelum menerapkan ajaran Perjanjian Baru tentang uang, kita harus memahami sifat dari masalah yang kita sedang berusaha untuk memecahkannya. Masalah budaya di zaman kita sangat berbeda dengan masalah budaya yang dihadapi oleh masyarakat di zaman Yesus. Pada zaman Perjanjian Baru, kebanyakan orang tinggal di komunitas dekat. Pemilik toko memiliki rumah dan toko di jalan yang sama. Pedagang cenderung tinggal dekat dengan orang dengan perdagangan yang sama. Banyak orang masih tinggal di desa. Kurangnya masyarakat bukan masalah inti. Kebersamaan itu membuat hidup mudah.

Masalah yang benar-benar membuat rakyat sengsara adalah bahwa sebagian besar lahan telah terakumulasi menjadi perkebunan besar. Bangsa Romawi dan Herodes menyerahkan tanah kepada orang-orang yang setia kepada mereka. Tanah ini sering disita dari orang biasa yang tidak bersalah. Karena tanah adalah sumber utama dari modal dalam masa itu, manusia yang kehilangan tanah mereka menghadapi kemiskinan persisten.

Cara lain untuk mendapatkan kekayaan adalah dengan mendapatkan peluang penipuan di berbagai acara persembahan di bait Allah. (praktek yang sama di masa kini masih terjadi di gereja yang tumbuh belakangan dengan dalih bermacam persembahan dan perpuluhan, nyatanya hanya untuk memperkaya gembalanya sendiri). Pilihan hanya disediakan bagi mereka dengan koneksi yang tepat. Setiap ziarah atau kunjungan ke bait Allah membuat keadaan kebanyakan orang lebih buruk. Bahkan mereka yang miskin harus membeli beberapa ekor merpati. Sistem bait Allah memberi peluang para aktivis atau petugas bait Allah untuk merampok secara legal dari orang-orang biasa dan tidak memberikan dukungan dan manfaat ekonomi bagi orang-orang biasa tersebut. Itulah sebabnya Yesus mengusir para pedagang dari Bait Allah, dan menyebutnya sarang penyamun.

Pekerjaan permanen adalah langka, sehingga banyak orang yang tidak memiliki tanah menghadapi keberadaan tangan-ke-mulut atau mengais-pagi-untuk-makan-siang dengan mendapatkan pekerjaan kasual kapan pun mereka bisa. Dalam perumpamaan Yesus tentang pekerja kebun anggor, banyak orang hanya mendapat pekerjaan selama satu jam dalam beberapa hari (Matius 20:1-8). Itu adalah situasi yang normal. Orang-orang menghabiskan waktu mereka berdiri menunggu di pasar dan berharap beberapa pekerjaan mungkin muncul untuk mereka. Apa yang dihadapi sehari-hari adalah keberadaan hidup yang genting. Tak heran jika pemilik kebun anggur memutuskan untuk bermurah hati.

Pelayan cerdas atau bendahara yang cerdik adalah contoh lain. Tanpa pekerjaan, pilihannya jarang datang. Tuan merampas pekerjaan saya. Saya tidak cukup kuat untuk menggali, dan saya malu untuk mengemis (Lukas 16:3). Para komentator cenderung mengatakan bahwa ia malas atau sombong, tetapi bendahara yang cerdik ini benar-benar menjadi sangat realistis. Jika ia tidak bisa mendapatkan pekerjaan sebagai buruh harian, ia harus mengemis.

Tindakan yang diambil oleh gereja mula-mula adalah ada upaya untuk menangani masalah kemiskinan persisten dan ketidakamanan ekonomi. Kis
2:44 Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, 2:45 dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Mereka percaya menjual tanah untuk membalikkan akumulasi properti dan untuk meringankan kemiskinan meluas.

Masalah modern dan masa kini

Masalah modern yang kita hadapi berbeda. Distribusi kekayaan yang tidak merata masih makin serius, tetapi itu bukan "show stopper" pada zaman Yesus. Contoh di Indonesia: pendapatan per kapita sudah melebihi $3000 atau sekitar Rp 30 juta. Kalau di Jakarta sudah mencapai Rp 100 juta. Garis kemiskinan di Jakarta saja sekitar Rp 350ribu per bulan atau Rp 4,2juta setahun. Mestinya tidak ada orang miskin di Indonesia. Tetapi nyatanya? Masih ada sekitar 30 juta orang lagi yang miskin. MASALAHNYA ADALAH DISTRIBUSI ATAU PEMBAGIAN KEKAYAAN. Di sini tidak berjalan keadilan sosial.

Kebanyakan orang di dunia Barat telah lolos subsisten dan memiliki beberapa properti. Hal yang sama dialami masyarakat Indonesia. Masalah besar yang membuat makan hati atau sakit hati dari budaya modern kita adalah runtuhnya masyarakat dan menghilangnya kebersamaan. Industrialisasi, urbanisasi dan globalisasi telah menghilangkan hubungan antara orang-orang yang pernah terjadi dalam masyarakat secara bersama-sama. Anggota keluarga dapat melakukan perjalanan di seluruh dunia untuk tinggal dan bekerja. Orang-orang dan keluarga hidup dalam isolasi.

Runtuhnya masyarakat terbesar dialami di kota-kota modern dan masa kini, di mana migrasi dan urbanisasi telah terputus hubungan dengan masyarakat tradisional. Mobilitas sosial mencegah berkembang hubungan yang stabil dan kehidupan keluarga menjadi mogok. Orang menjadi roda dalam mesin perusahaan dan kehidupan sering ditandai oleh kesepian dan ketidakamanan pribadi. Budaya pinggiran kota modern (urban area) menciptakan hambatan untuk komunikasi langsung fisik dan mendorong individualisme. Akibat masyarakat yang mogok dan ketakutan meningkat, pagar tinggi yang naik antara rumah mengisolasi orang satu sama lain. Isolasi ini berarti bahwa kebanyakan orang tidak termasuk dalam komunitas dimana mereka tinggal. Contoh nyata lihat saja di kawasan Menteng dan perumahan elit di Jakarta.

Isolasi dan dislokasi masyarakat perkotaan telah disertai oleh agregasi dan akumulasi kekuasaan politik ke negara modern. Sekarang kita menghadapi situasi aneh di mana kebutuhan terkonsentrasi pada individu, tetapi kekuasaan dan uang terkonsentrasi di tingkat nasional. Hal ini membuat keluarga dan individu tidak berdaya menghadapi pemerintah tak berwajah dan tidak berwujud.

Untuk mengembalikan ke kohesi masyarakat kita, masyarakat yang sebenarnya harus dikembalikan ke masyarakat kita, tetapi tidak jelas siapa yang akan melakukannya. Politisi memiliki kecenderungan inbuilt untuk mendorong kekuasaan dan uang ke atas, yang akan melemahkan masyarakat.

Kristen Terisolasi

Gereja harus memperkuat fondasi masyarakat, tetapi hal ini tidak terjadi. Masyarakat Barat telah dibentuk oleh mobil dan gereja telah pergi sepanjang perjalanan. Sedangkan orang-orang Kristen awal adalah "semua bersama di satu tempat". Dorongan orang Kristen modern untuk gereja, sama seperti mereka mengendarai mobil ke kantor dan untuk berbelanja. Gereja saat ini hampir sama secara sosial terfragmentasi sebagai sisa dari masyarakat. Ini menyedihkan, karena orang Kristen seharusnya menjadi ahli pada persekutuan dan mengasihi atau peduli satu sama lain. Kita harus memperkuat masyarakat lokal.

Runtuhnya masyarakat dan gaya hidup terfragmentasi mencegah kita hidup di dalam ajaran Yesus tentang uang. Kita merasa harus membangun harta dalam berbagai bentuk investasi atau super annuation dan skema asuransi, karena kita bukan bagian dari komunitas Kristen yang akan mendukung kita saat mengalami kesulitan. Kita tidak memiliki hubungan dengan orang Kristen yang berkomitmen untuk menyediakan dukungan keuangan untuk satu sama lain. Kristen terisolasi tidak memiliki pilihan selain berjuang sendiri dengan menyimpan harta di bumi. Kebutuhan yang paling mendesak di masyarakat kita adalah pemulihan masyarakat setempat. Kalau gereja tidak menyediakan dan melaksanakan hal ini, berarti itu bukan Gereja dalam arti Tubuh Yesus Kristus, yang ditulis dalam Alkitab. Gereja seperti itu sudah berubah menjadi perkumpulan sosial yang merampok harta kekayaan dan hak jemaat atas nama pelayanan untuk segelintir orang yang telah dibentuk oleh sistem pendidikan teologi yang menyedihkan. Kalau itu benar, berarti inilah saatnya bertobat: memahami fungsi gereja yang benar dan berusaha mewujudkannya. ... bersambung...