PENYELESAIAN MISI TERPENTING YESUS
Sebelumnya: Transfigurasi Yesus
Injil Keempat mencerminkan ketertarikannya pada dunia dengan menceritakan bagaimana lingkaran pengikut Yesus mencakup baik orang Yahudi maupun orang Samaria melalui kesaksian yang diberikan seseorang kepada orang lain (1:35-51; 4:31-42). Dalam catatannya tentang pelayanan publik Yesus, Injil mengantisipasi masuknya orang Yunani ke dalam komunitas Kristen (12:20). Bab terakhir dari Injil, menceritakan tentang para murid yang membawa tangkapan ikan yang banyak kepada Yesus—suatu tindakan yang secara umum diakui untuk mengantisipasi orang-orang tertarik kepada Yesus melalui karya murid-muridnya (21:1-14) tersebut. Akhirnya, Surat-surat Yohanes, membahas pertanyaan-pertanyaan tentang dukungan yang layak bagi para penginjil keliling (3 Yohanes 5-8). Tulisan-tulisan Yohanes memanifestasikan keterpisahan umat Kristiani dari dunia, namun tetap mengharapkan keterlibatan umat Kristiani dengan dunia.
Kesaksian Injil Keempat tentang Yesus mencakup kata-kata, "Akulah jalan, dan kebenaran, dan hidup. Tidak seorang pun datang kepada Bapa kecuali melalui Aku" (Yohanes 14:6). Kata-kata ini, yang diucapkan Yesus kepada para murid pada perjamuan terakhir, termasuk yang paling berkesan dan diperdebatkan dalam Perjanjian Baru. Bagi banyak orang, klaim Johannine bahwa Yesus adalah jalan adalah salah satu ajaran Kristen yang paling penting. Itu terdengar sebagai kabar baik karena mengumumkan bahwa melalui Yesus Kristus seseorang dapat berhubungan secara benar dengan Allah, dan memberikan dorongan untuk misi karena itu adalah pesan untuk dibagikan.
Yesus diutus ke dunia agar manusia dapat hidup dalam hubungan dengan Allah. Tujuan Dia diutus, menurut 14:6, adalah agar orang-orang dapat "datang" kepada Bapa, yang dalam konteks langsung berarti bahwa mereka dapat mengenal dan percaya kepada Allah. Setelah mengidentifikasi diri-Nya sebagai cara orang "datang" kepada Bapa (erchesthai, 14:6), Yesus beralih ke kata kerja "mengenal" (ginoskein) ketika Ia berkata, "Jika kamu mengenal Aku, kamu juga akan mengenal Bapa-Ku. Mulai sekarang kamu mengenal Dia dan telah melihatNya” (14:7). Kemudian Dia beralih dari "mengetahui" menjadi "percaya" (pisteuein) dengan mengatakan, "Siapa pun yang telah melihat Aku telah melihat Bapa ... Apakah kamu tidak percaya bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku?" (14:9). Datang, mengetahui, dan percaya adalah ekspresi yang tumpang tindih untuk hubungan manusia dengan Allah dalam perikop ini, seperti di tempat lain dalam Injil (misalnya, 1:10-12, 6:35, 68-69, 7:37-38).
Masalah dengan kondisi manusia, yang digambarkan secara gamblang dalam Wacana Perpisahan, adalah bahwa "tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa" (14:6b). Ini merupakan klaim inklusif Injil, karena konteksnya menjelaskan bahwa "tak seorang pun" (oudeis) mencakup semua orang. Asumsi yang mendasari kata-kata ini adalah bahwa semua orang terpisah dari Tuhan. Mengatakan bahwa "tidak seorang pun datang kepada Bapa" mengasumsikan bahwa semua orang terpisah dari Bapa—jika tidak, tidak perlu datang kepada-Nya. Pemisahan dari Tuhan ini menimbulkan dosa manusia, dan dosa menggambarkan kondisi setiap manusia. Mengatakan bahwa tidak seorang pun datang kepada Bapa berarti bahwa dosa memisahkan setiap orang dari Bapa.
Pemisahan umat manusia dari Allah adalah tema yang terus ada dalam Injil Yohanes. Ketika berbicara tentang firman Tuhan, prolognya menyatakan bahwa "Dia ada di dunia, dan dunia menjadi ada melalui Dia, tetapi dunia tidak mengenalNya" (1:10). Sebuah celah memisahkan manusia dari yang ilahi. Sepanjang Injil Yesus berbicara kepada para pendengar yang tidak mengenal Allah, yang tidak pernah mendengar suara Allah dan tidak pernah melihat wujud Allah (5:27; 7:28, 8:19). Tuhan dan Putranya milik dunia atas sedangkan manusia milik dunia bawah, dan celah antara alam ilahi dan manusia ditandai dengan keterasingan. Yesus berkata kepada lawan-lawannya, "Kamu dari bawah, Aku dari atas, kamu dari dunia ini, Aku bukan dari dunia ini," dan "Aku berkata kepadamu bahwa kamu akan mati dalam dosamu" (8:23-24 ). Oleh karena itu, ketika Anak Allah melewati batas dan memasuki dunia, dunia membenciNya karena Dia bersaksi bahwa perbuatannya jahat (7:7). Pernyataan bahwa "tidak seorang pun datang kepada Bapa" (14:6b) menunjukkan keterasingan manusia dari Allah.
Karena keterpisahan dari Allah pada dasarnya adalah masalah manusia, hal itu mempengaruhi para pengikut Yesus dan juga musuh-musuhNya. Para murid tidak menunjukkan permusuhan yang sama seperti yang dilakukan para penentang Yesus, tetapi konteks komentar tentang jalan menunjukkan bahwa Injil Yohanes memahami pemisahan dari Allah sebagai masalah bagi semua orang. Yesus berbicara kepada para pengikutNya dengan cara yang sama seperti sebelumnya Dia berbicara kepada musuh-musuhNya ketika Dia memberi tahu mereka, "seperti yang Aku katakan kepada orang Yahudi" yang telah menunjukkan perlawanan, "jadi sekarang Aku katakan kepada kamu" yang termasuk dalam lingkaran dalam: "Ke mana Aku aku pergi, kamu tidak bisa datang" (13:33). Pada tingkat fundamental, para murid berada dalam posisi yang sama dengan orang Farisi dan polisi Bait Suci yang mencoba menangkap Yesus (7:34; 8:21): tidak ada dari mereka yang memiliki kemampuan bawaan untuk pergi ke mana pun Yesus pergi.
Penggambaran murid-murid secara individu pada perjamuan terakhir memperkuat kesan bahwa Yesus membahas masalah manusia yang mendasar. Pertama, Petrus protes, "Tuhan, mengapa aku tidak dapat mengikuti Engkau sekarang? Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu" (13:37). Sebagai jawaban Yesus mengungkapkan bahwa Petrus akan menyangkal Dia tiga kali (13:37-38). Petrus adalah murid yang setia sejak awal pelayanan Yesus (1:41-42), dan ketika banyak pengikut Yesus pergi meninggalkanNya karena desakan Yesus agar mereka memakan dagingNya dan meminum darahNya, Petrus mengaku bahwa Yesus adalah Yang Kudus dari Allah, yang memiliki firman hidup yang kekal (6:68-69). Namun demikian ketika Petrus, di pelataran imam besar, menyangkal bahwa dia adalah murid Yesus, dia menunjukkan bahwa dia memiliki kondisi yang sama dengan yang dinyatakan dalam lawan-lawan Yesus dari orang Yahudi. Ingatlah bahwa sebelumnya beberapa pemimpin Yahudi ditanya apakah mereka mau termasuk di antara murid-murid Yesus, dan mereka menyangkalnya (9:27-28). Selama pemeriksaan Yesus di hadapan otoritas Yahudi, Petrus akan melakukan hal yang sama dengan berulang kali menyangkal Yesus (18:17, 25, 27).
Kedua, Tomas menginterupsi wacana Yesus pada perjamuan terakhir dengan menyatakan, "Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi. Bagaimana kami tahu jalannya?" (14:5). Sebelumnya dalam Injil, Tomas telah siap mengikuti Yesus kembali ke Yudea untuk menemui Lazarus, meskipun musuh Yesus menjadi ancaman di wilayah itu (11:16). Namun selama perjamuan terakhir Yesus berbicara tentang jenis perjalanan lain, yang tidak dapat dipahami oleh Tomas. Yesus akan pergi kepada Tuhan, dan ketidakmampuan Tomas untuk memahami hal ini mengingatkan ketidakpahaman yang ditunjukkan oleh musuh-musuh Yesus sebelumnya ketika mereka bertanya, "Ke mana orang ini bermaksud pergi sehingga kami tidak akan menemukannya?" dan "Apa maksudnya dengan mengatakan... 'Di mana Aku berada, kamu tidak dapat datang?"' (7:35-36; 8:22). Tomas sama tidak tahunya dengan lawan-lawan Yesus.
Ketiga, Filipus berkata, "Tuhan, tunjukkanlah Bapa kepada kami dan kami akan dipuaskan" (14:8). Filipus dipanggil oleh Yesus pada awal pelayananNya, dan Filipus telah mengakui bahwa Yesus adalah "yang ditulis oleh Musa dalam kitab Taurat dan juga para nabi" (1:45). Filipus hadir untuk memberi makan lima ribu orang secara ajaib (6:5, 7), dan dia adalah salah satu yang memberi tahu Yesus bahwa orang Yunani ingin bertemu Yesus ketika Yesus memasuki Yerusalem (12:20-23). Namun permintaan Philip pada perjamuan terakhir menunjukkan bahwa dia tidak puas dengan apa yang telah dia lihat sejauh ini, dan kata-katanya menggemakan episode sebelumnya di mana lawan Yesus dari orang Yahudi adalah orang-orang yang menuntut untuk mengetahui, "Di mana Bapamu?" (8:19). Oleh karena itu, tanggapan Yesus sangat tajam: "Bukankah Aku sudah bersama kamu selama ini, Filipus, dan kamu masih tidak mengenal Aku?" (14:9). Seperti yang lainnya, Filipus tidak benar-benar mengenal Yesus pada bagian cerita ini. Kata-kata Yesus, "tidak seorang pun datang kepada Bapa" (14:6b), meratakan perbedaan di antara manusia dengan mengarahkan perhatian pada keterpisahan dari Allah yang dialami oleh semua manusia.
Penilaian negatif atas situasi umat manusia ini merupakan praduga bagi penyajian positif Injil tentang Yesus sebagai jalan. Injil Keempat mendesak para pembaca untuk melihat kedalaman keterasingan manusia dari Allah dan untuk memahami pribadi dan karya Kristus sebagai tanggapan Allah terhadap keterasingan itu. Injil Yohanes tidak mengidentifikasi Yesus sebagai jalan, kebenaran, dan hidup untuk menutup hubungan dengan Allah, tetapi untuk membuka hubungan dengan Allah di mana dosa telah menciptakan keterpisahan (14:6a). Kata "kecuali" (ei Aku) dalam frasa "kecuali oleh Aku" (14:6c) berarti bahwa penghakiman kategoris bahwa "tidak ada yang datang kepada Bapa" bukanlah kata terakhir (14:6b). Kata "kecuali" memperkenalkan prospek hubungan dengan Tuhan meskipun manusia terasing dari Tuhan. "Kecuali" seperti jendela yang membiarkan cahaya masuk ke ruangan tertutup. Istilah ini sesuai dengan apa yang Injil katakan tentang Kristus yang datang sebagai terang ke dalam dunia yang gelap (1:5, 9; 3:19) dan melayani sebagai pintu atau gerbang yang memampukan manusia untuk memasuki kandang domba Allah (10:7-10). Alih-alih membatasi akses ke Tuhan, kata "kecuali" menciptakan akses ke Tuhan.
Saling mempengaruhi antara penilaian tegas atas pemisahan manusia dari Allah dan janji hubungan baru dengan Allah merupakan bagian dari jalinan Injil Yohanes. Salah satu tokoh Injil yang paling dikenang adalah Nikodemus, yang berbicara sebagai seorang Farisi (3:1), sebagai salah satu orang banyak (3:2; cf. 2:23), dan akhirnya sebagai wakil dari manusia yang buta (3:19). Yesus berbicara dengan tegas ketika Dia berkata kepada Nikodemus, "Aku berkata kepadamu dengan sungguh-sungguh, tidak seorang pun dapat melihat Kerajaan Allah" (3:3a). Setelah mendengar jawaban Nikodemus, Yesus menegaskan kembali penilaiannya dengan mengatakan, "tidak seorang pun dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah" (3:5a). Kedua ucapan tersebut mengandaikan bahwa kondisi manusia adalah salah satu pemisahan dari kerajaan Allah. Mengatakan bahwa "tidak seorang pun" dapat melihat atau memasuki Kerajaan berarti bahwa setiap orang mulai dari suatu titik di luar Kerajaan.
Terhadap latar belakang penilaian negatif ini Yesus menyisipkan kata "kecuali." Kata "kecuali" (ean me), seperti kata "kecuali" dalam 14:6, menyediakan hubungan dengan Tuhan dalam menghadapi keterpisahan dari Tuhan. Mengatakan bahwa "tidak seorang pun" dapat masuk atau bahkan melihat kerajaan Allah membuat penilaian yang sangat negatif terhadap kemampuan manusia untuk berhubungan sepenuhnya dan benar dengan Allah. Menambahkan bahwa ini benar "kecuali" dia dilahirkan kembali (3:3b, 5b) menunjuk ke prospek hubungan di mana seseorang tidak mungkin. Dilahirkan kembali berarti menjadi beriman, itulah sebabnya "percaya" begitu sering disebutkan dalam perikop ini (3:12, 15, 16, 18). Percaya adalah gagasan relasional dalam Injil Yohanes; itu adalah cara orang berhubungan dengan benar kepada Tuhan. Iman dibangkitkan oleh Roh (3:6) melalui pesan bahwa Allah begitu mengasihi dunia sehingga Ia memberikan Anak-Nya untuk menderita dan mati untuk menebusnya (3:16).
Dinamika serupa muncul dalam Yohanes 6, di mana Yesus berbicara kepada perwakilan dari orang banyak yang diberi makan dengan lima roti dan dua ikan. Di tengah wacananya Yesus membuat penilaian kategoris bahwa "tidak seorang pun dapat datang kepada-Ku" (6:44a), menggunakan "datang" sebagai sinonim untuk iman (lih. 6:35). Sikap orang banyak mendukung pernyataanNya. Yesus mengubah lima roti dan dua ikan menjadi makanan bagi lima ribu orang dengan sisa yang banyak (6:1 - 15), namun mereka tetap menuntut tanda agar mereka percaya (6:30). Desakan mereka pada tanda-tanda, setelah diberi tanda, mengungkapkan ketidakmampuan mereka untuk memahami kehadiran dan pekerjaan Allah, yang kuasa-Nya dinyatakan melalui Putra yang diutus-Nya (6:27, 29, 32,33). Mereka tidak hanya tidak datang, tetapi jelas tidak memiliki kemampuan untuk datang, karena teks mengatakan bahwa "tidak ada yang bisa" melakukannya (oudeis dynatai, 6:44a). Penginjil menggarisbawahi kedalaman masalah dengan mencatat bagaimana orang-orang "mengeluh" atau "bersungut-sungut" terhadap Yesus, menggunakan kata yang dikaitkan dengan orang-orang sezaman Musa (goggyzein, 6:41, 43). Generasi Musa mendapat manfaat dari tindakan ilahi seperti bebas dari tulah yang menimpa orang Mesir, pembebasan di Laut Merah, pemberian air dari batu karang, dan penyediaan manna setiap hari, roti dari surga (Kel 14:21-31; 16:4; 17:1 -7). Namun mereka terus-menerus mengeluh dan menolak mempercayai Allah (Kel. 16:7; 17:3; Bil. 14:27, 29). Kesejajaran antara generasi padang gurun dan orang banyak yang diberi makan oleh Yesus menunjukkan keterasingan manusia yang terus-menerus dari Tuhan.
Yesus memberi tahu orang banyak bahwa "tidak ada yang bisa datang," membuat pernyataan negatif tentang kondisi manusia (Yohanes 6:44a), tetapi penilaian ini dihadapi lagi dengan kata "kecuali" (ean me, 6:44b). Dengan sendirinya pernyataan bahwa "tidak ada yang bisa datang" berarti bahwa hubungan dengan Tuhan dan Kristus yang Tuhan utus tidak mungkin. Namun menambahkan "kecuali Bapa yang mengutus, Aku menarik" orang itu berarti bahwa hubungan dapat terjadi ketika Tuhan bertindak untuk mengatasi penghalang yang memisahkan manusia dari yang ilahi. Tuhan "menarik" (helchyein) orang-orang kepada Yesus dan juga kepada diriNya sendiri dengan berkomunikasi dengan mereka, menurut 6:45. Belakangan, para pembaca mengetahui lebih spesifik bahwa orang-orang "ditarik" kepada Kristus oleh kuasa kebangkitan-Nya dalam penyaliban, juga oleh kenaikan-Nya dan kembali kepada Bapa (12:32-33). Menurut Injil Yohanes, kematian dan kebangkitan Kristus adalah cara Allah mengkomunikasikan kasih-Nya kepada dunia dan dengan demikian menarik dunia kembali ke dalam hubungan dengan diri-Nya sendiri.
Menyebut Yesus "jalan" menunjuk pada prospek hubungan dengan Allah di hadapan penghakiman negatif bahwa "tidak ada yang datang kepada Bapa." Gambaran jalan dapat dipahami dengan baik dengan mencatat bahwa Yesus berbicara tentang menempuh jalan itu sendiri sebelum Ia berbicara tentang menjadi jalan bagi orang lain. Berfokus pada awalnya pada apa artinya bagi Yesus untuk pergi ke jalan membuat lega apa artinya bagi Yesus untuk menjadi jalan. Perjalanan Yesus sendiri disebutkan berulang kali dalam Yohanes 13-14, dan dengan gaya khas Yohanes pernyataan-pernyataannya mencakup berbagai dimensi makna. Oleh karena itu, ketika Yesus berbicara tentang "ke mana Aku pergi" (13:33, 36), kata-kataNya dapat diambil pada dua tingkat: tujuanNya dan ruteNya. Setiap level patut dipertimbangkan.
Pertama, kita dapat mempertimbangkan apa yang Injil katakan tentang tempat tujuan Yesus. Selama pelayanan publikNya, Yesus berbicara tentang pergi kepada orang yang mengutusNya (7:33-34). Orang-orang yang menonton dalam cerita ini menganggap pernyataan ini tidak jelas, tetapi penginjil memberikan informasi yang cukup kepada pembaca untuk mengetahui bahwa Allah mengutus Yesus (5:23-24; 6:38-39). Karena itu, ketika Yesus berbicara tentang pergi kepada orang yang mengutusNya, para pembaca mengerti bahwa yang Dia maksud adalah kembalinya Dia kepada Bapa. Demikian pula, komentar yang memperkenalkan catatan Yohanes tentang perjamuan terakhir mengulangi bahwa Yesus datang dari Allah dan akan pergi kepada Allah (13:1, 3). Setelah membangkitkan rasa ingin tahu para murid tentang ke mana Ia akan pergi, Yesus menceritakan tentang menyiapkan tempat bagi mereka di rumah Bapa-Nya yang banyak kamarnya (14:2-4). Pembaca yang mengikuti isyarat ini akan menjawab pertanyaan, "Ke mana Yesus pergi?" (13:36; 14:5) dengan mengatakan, "Ia akan pergi kepada Allah."
Kedua, kita harus memperhatikan rute yang akan diambil Yesus untuk sampai ke tujuanNya. Yesus berbicara tentang ke mana Ia pergi dalam konteks yang menyebutkan prospek penangkapan dan "jam" sengsara yang akan datang (7:30, 34; 8:20-21). Ketika penginjil kemudian membunyikan jam kembalinya Yesus kepada Bapa, para pembaca mengetahui bahwa jalan yang ditempuh Yesus akan melewati pengkhianatan (13:1-2). Setelah Yudas meninggalkan rombongan para murid dan terjun ke malam hari untuk melakukan pengkhianatan, Yesus berbicara tentang pemuliaan dan pergi ke tempat yang tidak dapat dikunjungi orang lain (13:30-33). Menurut Injil Yohanes, pemuliaan dan kembalinya Yesus kepada Bapa terjadi melalui kematian dan kebangkitan-Nya (12:23-24). Tanpa disadari Petrus menekankan fakta bahwa Yesus sedang menempuh jalan yang akan menuju kematian dengan menyatakan bahwa ia akan mengikuti Yesus dan menyerahkan nyawanya untukNya, yang mendorong Yesus untuk menubuatkan penyangkalan Petrus (13:36-37). Isyarat dalam teks ini memungkinkan pembaca untuk menjawab pertanyaan, "Ke mana Yesus pergi?" dengan mengatakan, "Ia sedang menempuh jalan salib."
Yohanes 14 dimulai dengan mengidentifikasi tempat tujuan Yesus sebagai rumah Bapa-Nya, tetapi ketika Yesus memperkenalkan istilah "jalan" dalam pernyataan "Engkau tidak tahu jalan ke mana Aku pergi" (14:4), Ia memusatkan perhatian pada jalan penyaliban dan kebangkitan yang akan menuntun ke tempat tujuan itu. Saat narasi terungkap, Yesus pergi ke taman tempat Dia ditangkap, lalu ke rumah imam besar tempat Dia diinterogasi dan ke markas Gubernur Romawi tempat Dia dicambuk. Dia mengikuti jalan keluar kota, memikul salibNya sendiri, dan disalibkan di Golgota. Kematian dan penguburan diikuti oleh kebangkitan--dan semua ini termasuk cara Dia kembali kepada Bapa (20:17).
Para murid tidak memahami jalan Yesus sebelum sengsara, seperti yang dijelaskan Tomas dengan keberatan, "Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi. Bagaimana kami bisa tahu jalannya?" (14:5). Yesus memberi tahu Tomas bahwa Dia adalah cara orang mengenal dan melihat Allah Bapa (14:6-7), tetapi hanya setelah Jumat Agung dan Paskah, ketika Yesus yang bangkit menunjukkan tanda penyaliban kepada Tomas, adalah kata-kata dari Yohanes 14 diwujudkan dalam pengakuan Tomas, "Ya Tuhanku dan Allahku" (20:28). Pentingnya perkataan Yesus tentang jalan muncul setelah kematian dan kebangkitanNya, sama seperti Injil menunjukkan komentarNya tentang kehancuran dan kebangkitan bait suci (2:21-22) dan pembasuhan kaki para murid (13: 7) hanya dapat dipahami dalam terang ilahi melalui karya Roh (14:26).
Yesus berkata "Akulah jalan" (14:6) setelah Ia berbicara tentang menempuh jalan itu sendiri (14:4). Dengan menempuh jalan salib dan kebangkitan, Ia mewujudkan jalan salib dan kebangkitan. Menyebut Yesus "jalan" berarti memanggilnya "Yang Tersalib dan Bangkit". Istilah "jalan" menggugah dan seperti cahaya, air, roti, dan gambaran-gambaran penting lainnya dari Yohanes yang mengingatkan asosiasi dari berbagai sumber sambil membentuk kembali asosiasi-asosiasi ini dalam hubungannya dengan sengsara Yesus. Sebelumnya, Yohanes Pembaptis menggunakan gambaran tentang jauh dari kitab Yesaya ketika dia menyebut dirinya "suara orang yang berseru di padang gurun, 'Luruskan jalan Tuhan"' (1:23; Yes 40:3). Meskipun Injil lainnya menghubungkan jalan Tuhan dengan seruan untuk bertobat (Mat 3:2-3; Markus 1:2-4; Lukas 3:34), Injil Keempat mengatakan bahwa Yohanes Pembaptis meluruskan "jalan Tuhan". "dengan bersaksi tentang Yesus sebagai Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia" (Yohanes 1:29). Demikianlah janji jalan, yang disebutkan dalam Yesaya, menemukan realisasinya dalam kematian Yesus demi orang lain.
Pada perjamuan terakhir gambar jalan diperkenalkan dengan kata-kata "Aku" (ego eimi), yang mengingatkan bagaimana Tuhan mengungkapkan diriNya kepada Musa di semak yang terbakar dengan mengatakan, "Aku adalah aku" (Kel 3:14 ). Konotasi ilahi dari "Aku", yang muncul dalam berbagai perikop Perjanjian Lama, dikembangkan dalam Injil Yohanes. Dalam beberapa konteks, kata-kata itu digunakan dalam pengertian yang mutlak dan tidak gramatikal di mana unsur ilahi menjadi jelas. Misalnya, ketika Yesus berkata, "Sebelum Abraham jadi, Aku telah ada" (Yohanes 8:58), orang banyak menyadari singgungan terhadap nama Allah dan berupaya melempari Yesus dengan tuduhan penghujatan. Di bagian lain "Aku" digunakan dengan predikat tersirat, sehingga sering diterjemahkan "Aku adalah Dia" atau "Ini Aku". Namun demikian, ketika Yesus mengucapkan "Aku" dengan cara ini di taman Getsemani, musuh-musuhnya jatuh ke tanah, tampaknya sebagai tanggapan atas kualitas kata-kata yang luar biasa (18:5-6). Akhirnya, "Aku" digabungkan dengan gambaran seperti roti, terang, pintu, gembala, kebangkitan, dan pokok anggur. Dalam pernyataan-pernyataan ini, kualitas pewahyuan dari ungkapan itu bertahan, sehingga dengan mengatakan "Akulah" Yesus tidak hanya mengidentifikasi siapa diriNya, tetapi juga menunjukkan bagaimana Dia menyatakan kuasa dan kehadiran Allah.
Secara bersama-sama, dua bagian dari pernyataan "Akulah jalan" menyatakan bahwa Yesus menyatakan Allah melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Kata "Aku" di paruh pertama frasa menggemakan nama Tuhan dan, seperti bagian "Aku" lainnya dalam Injil Yohanes, menunjukkan bahwa Tuhan dikenal di dalam Kristus. Rujukan pada "jalan" di bagian kedua mengembangkan apa yang diisyaratkan Yesus tentang menempuh jalan salib dan kebangkitan untuk menunjukkan bahwa Yesus datang untuk mewujudkan jalan salib dan kebangkitan.
Kalau bertanya "Untuk siapa Yesus jalan?" dalam konteks pluralistik berarti mempertimbangkan pertanyaan sebelumnya, "Untuk siapa Yesus pergi?" atau lebih tepatnya, "Untuk siapakah Kristus mati?" Menurut Injil Yohanes, Yesus menempuh jalan salib untuk semua orang. Dalam pasal pembukaan, Yohanes Pembaptis menggambarkan "jalan Tuhan" (1:23) dengan menunjuk pada "Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia" (1:29). Penggunaan istilah "dunia" (kosmos) menekankan ruang lingkup misi Kristus. Kristus mengorbankan dirinya untuk semua karena dosa, yang memisahkan manusia dari Allah, adalah bagian dari kondisi manusia. Menurut Injil Yohanes, Yesus mati sebagai "Anak Domba Allah" ketika Ia disalibkan pada hari Persiapan Paskah, ketika domba Paskah disembelih (19:14). Keyakinan bahwa Kristus mati demi dunia ditegaskan oleh tanda di atas salib, “Yesus Raja” yang menyatakan identitas Kristus dalam bahasa Ibrani, Latin, dan Yunani untuk dilihat oleh seluruh dunia (19:20).
Jalan salib adalah jalan kasih ilahi. Itu karena "Allah begitu mengasihi dunia sehingga Ia memberikan Anak-Nya yang tunggal" untuk menderita, mati, dan bangkit, "supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal" (3:16). Ketika Yesus menyatakan Allah dengan menempuh jalan salib, Ia mewujudkan kasih Allah bagi dunia yang terasing dari Penciptanya. Manusia mampu menyadari bahwa ungkapan kasih yang terbesar adalah menyerahkan nyawanya demi kepentingan orang lain (15:13). Oleh karena itu, Yesus pergi ke kayu salib tidak hanya untuk menunjukkan kasih-Nya sendiri kepada para pengikutNya (13:1) tetapi juga untuk mengungkapkan kasih Allah yang mengutusNya agar hubungan dunia dengan Allah dapat dipulihkan (3:16) . Sifat mutlak dari pernyataan "Akulah jalan" mengungkapkan sifat kasih Allah yang mutlak bagi dunia.
Menyebut Yesus bukan hanya “jalan” tetapi juga “kebenaran” (14:6) lebih lanjut menggambarkan apa yang Ia nyatakan dengan menempuh jalan salib dan kebangkitan. Menurut prolog, firman Allah memasuki dunia, menjadi manusia, dan mengungkapkan kemuliaan ilahi sebagai "rahmat (anugerah) dan kebenaran" (1:14). Yesus memanifestasikan kemuliaan Allah selama pelayanan publik-Nya melalui tindakan kuasa (17:4), tetapi akhirnya Ia dimuliakan melalui kematian dan kebangkitan, peristiwa-peristiwa di mana kasih karunia dan kebenaran "datang" atau lebih harfiah "terjadi" (egeneto, 1:17). Sesaat sebelum penyalibanNya, Yesus memberi tahu Pilatus bahwa Dia telah datang ke dunia untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran (18:37). Ketika Pilatus menanggapi, "Apakah kebenaran itu?" (18:38), Yesus menjawab tidak begitu banyak dengan kata-kata melainkan dengan menempuh jalan salib, yang merupakan bentuk kesaksian yang sempurna akan kebenaran. Mengetahui kebenaran yang membebaskan manusia dari belenggu dosa (8:31-34) adalah mengetahui kasih Allah yang dinyatakan Kristus. Dengan menempuh jalan salib dan kebangkitan untuk mengungkapkan kebenaran Allah, Kristus datang untuk mewujudkan jalan dan kebenaran itu.
"Hidup", menguraikan apa artinya bagi Yesus sebagai jalan dan kebenaran, adalah ungkapan relasional. Hidup sejati berarti hidup dalam hubungan dengan Allah yang benar (3:33, 36). Hidup memiliki dimensi fisik tetapi tidak terbatas pada apa yang fisik. Orang-orang yang hidup dalam pengertian tubuh berpindah "dari kematian ke kehidupan" ketika mereka percaya pada apa yang Yesus nyatakan tentang Allah (5:24). Dalam Injil Keempat "kehidupan" sering disamakan dengan "kehidupan yang kekal", karena kehidupan yang otentik datang melalui pengenalan akan Allah yang kekal (17:3). Hidup adalah hubungan yang dimulai dalam iman dan berlanjut setelah kematian menuju kehidupan abadi melalui kebangkitan (5:29). Melalui penyaliban dan kebangkitan-Nya, Yesus mengungkapkan kasih ilahi yang menarik manusia ke dalam hubungan dengan Allah yang merupakan kehidupan sejati.
Ketika Yesus berkata, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup" Dia berbicara tentang karunia yang diberikan kepada semua manusia yang telah dipisahkan oleh dosa dari Allah. Frasa ini, seperti pernyataan "Aku" lainnya, mengumumkan apa yang Tuhan tawarkan kepada dunia. Ketika Yesus berkata, "Akulah roti hidup" (6:35) yang Ia maksudkan adalah bahwa Ia adalah "roti Allah... yang turun dari surga dan memberikan hidup kepada dunia" yang lapar melalui penyaliban daging-Nya (6:33, 51). Ketika Dia berkata, "Akulah terang dunia" Dia menunjukkan bahwa Dia datang untuk memberikan "terang kehidupan" kepada semua orang yang mengalami kegelapan dosa dan kematian, dan Dia menunjukkan ini adalah hadiah sebagai karunia dengan cara membawa cahaya penglihatan ke mata orang yang lahir buta (8:12; 9:5-7). Ketika Yesus berkata, "Akulah pintu," Dia menjelaskan bahwa Dia datang agar orang bisa diselamatkan dan hidup berkelimpahan (10:7-10); dan konteksnya menekankan bahwa sebagai pintu gerbang Yesus membuka jalan bagi mereka yang seharusnya tertutup, seperti orang yang diusir dari sinagoga (9:34). ”Aku adalah Gembala yang baik," Dia berjanji untuk memberikan hidup yang kekal kepada domba-dombaNya dengan memberikan hidup bagi mereka (10:11, 28). Ketika Dia berkata, "Akulah kebangkitan dan hidup" Dia menekankan apa yang Dia berikan kepada semua orang yang percaya. (11:25-26). Ketika Dia berkata, "Aku adalah pokok anggur yang benar," Dia memanggil orang untuk tinggal di dalam Dia karena Dia akan menopang mereka dengan kasih ilahi (15:1, 4, 9).
Kata-kata "Akulah" mengisyaratkan kepada para pembaca saat ini (waktu itu pendengar) untuk memulai refleksi teologis dengan mempertimbangkan siapakah Kristus itu dan apa yang telah Ia lakukan. Ini memiliki efek aneh membalikkan pertanyaan biasa yang muncul dari pembacaan Injil Yohanes. Dimulai dengan banyaknya tradisi dunia dan klaim kebenaran setiap agama dan kepercayaan yang membuat wajar untuk bertanya bagaimana seseorang dapat mengatakan bahwa Yesus adalah "Jalan", karena dari perspektif ini klaim Injil tampak sangat sempit dan tidak nyaman bagi agama dan kepercayaan yang lain. Akan tetapi, dimulai dengan logika internal Injil, mengungkapkan bahwa Yesus adalah Jalan karena Ia menempuh jalan salib dan kebangkitan. Ini wajar untuk bertanya ‘apakah ada orang yang untuknya Kristus tidak mati?’. Jika Kristus menjalani jalan salib untuk semua orang, maka jelas Yesus menyediakan jalan bagi semua orang yang ada di dunia ini. Sekali lagi, Injil menyebut Yesus "jalan" karena Yesus menempuh jalan salib untuk mengungkapkan kasih Allah bagi dunia yang terasing dariNya. Oleh karena itu, perlu mengatakan dengan tegas bahwa Yesus adalah jalan bagi semua orang, karena Yesus mengungkapkan kasih Allah untuk semua orang.
Jika semua orang dipisahkan dari Allah--karena "tidak seorang pun datang kepada Bapa" (14:6b)- maka Yesus menjalani jalan salib dan kebangkitan dan mewujudkan jalan salib dan kebangkitan untuk mengatasi keterasingan ini melalui wahyu dari kasih Tuhan. Kasih Allah adalah inti misi Yesus kepada dunia, menurut Injil Yohanes, dan itu tetap menjadi ciri kegiatan misioner dari mereka yang iman dan hidupnya dibentuk oleh kesaksian Injil ini. Dengan menggunakan frasa ini, Yesus menegaskan bahwa mengenal Dia bukan hanya makna dan pemenuhan hidup di bumi yang tertinggi, tetapi satu-satunya cara untuk benar-benar mengenal Bapa di surga.
"'Dan jika Aku pergi dan menyiapkan tempat untukmu, Aku akan kembali dan membawamu untuk bersamaKu agar kamu juga berada di tempatKu. Kamu tidak tahu jalan ke tempat yang Aku tuju.' Tomas berkata kepadaNya, 'Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi, jadi bagaimana kami bisa tahu jalannya?' Yesus menjawab, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada yang datang kepada Bapa kecuali melalui aku. Jika kamu benar-benar mengenalKu, kamu akan mengenal BapaKu juga. Mulai sekarang, kamu mengenalNya dan telah melihat Dia."
Aku adalah Jalan
Saat Yesus memberi tahu murid-muridNya bahwa Dia adalah jalan, ada
banyak makna yang terlibat. Pertama, Dia membahas naluri manusiawi kita untuk
mengetahui ke mana kita akan pergi sebelum kita memulai perjalanan. Para murid
ingin mengetahui langkah selanjutnya, giliran berikutnya, tujuan akhir kemana
perjalanan iman ini akan membawa mereka. Ketika kita memiliki perjalanan
panjang di depan kita, kita ingin menyalakan GPS kita dan mengetahui berapa
lama waktu yang dibutuhkan dan jalan yang akan kita tempuh untuk sampai ke
sana. Kita menentukan rute terbaik dan tercepat lalu memulai perjalanan kita.
Thomas sedang mencari jenis informasi yang sama.
Namun, Yesus memperjelas bahwa mereka (atau kita) tidak akan tahu jalan yang pasti yang harus kita tempuh dalam hidup. Sebaliknya, kita ditugaskan untuk sekadar mengetahui dan percaya kepada Yesus setiap hari, dan berjalan dalam iman bahwa DIA adalah jalan. Ketika kita tinggal di dalam Dia, kita tidak akan mengetahui jalan yang pasti, tetapi kita dapat beristirahat dalam kenyamanan iman – bahwa Dia akan memimpin kita tepat ke mana kita harus pergi saat kita berjalan di dalam Dia.
Ini mengarah pada makna kedua. Dalam Yohanes 10, Yesus membandingkan diriNya dengan seorang gembala yang baik: "Ketika dia telah mengeluarkan semua miliknya, dia berjalan di depan mereka, dan domba-dombanya mengikuti dia karena mereka mengenal suaranya. Tetapi mereka tidak akan pernah mengikuti orang asing; bahkan, mereka akan lari darinya karena mereka tidak mengenali suara orang asing.” Yesus menggunakan kiasan ini, tetapi orang-orang Farisi tidak mengerti apa yang Dia katakan kepada mereka. Oleh karena itu Yesus berkata lagi, “Aku berkata kepadamu dengan sungguh-sungguh, Akulah pintu gerbang domba-domba itu. Semua yang datang sebelum aku adalah pencuri dan perampok, tetapi domba-domba tidak mendengarkan mereka. Akulah pintunya; siapa pun yang masuk melalui Aku akan diselamatkan. Mereka akan masuk dan keluar, dan menemukan padang rumput."
Yesus membandingkan diriNya dengan seorang gembala dan kita sebagai domba-dombaNya. Domba tidak memilih jalan mereka sendiri untuk keselamatan dan perlindungan, tetapi bergantung pada gembala untuk menjaga dan merawat mereka. Agar selamat, kita harus mempercayai sang gembala, dan tidak mengembara dalam petualangan kita sendiri dan mencoba mencari jalan sendiri. Itu akan membawa kita pada bahaya dan rasa sakit. Tetapi ketika kita mengikuti Yesus, Dia membawa kita ke tempat yang kita butuhkan.
Akhirnya, Dia menjelaskan bahwa Dia adalah jalan menuju Bapa, dan selanjutnya, ke surga, karena Bapa tinggal di surga. Dia berkata bahwa Dia pergi untuk mempersiapkan tempat bagi kita, dan ini menunjukkan bahwa setelah kita menyelesaikan perjalanan hidup ini, kita akan menemukan diri kita di tempat peristirahatan di mana Bapa berada. Namun, Ketika Kerajaan Surga datang ke bumi Bersama Kristus Sang Raja, maka kehendak Bapa di Surga mulai terlaksana di bumi. Artinya, Ketika kita masih hidup dalam daging dan tubuh yang fana ini, kita sudah dapat menikmati surga di bumi ini, karena bumi adalah bagian dari Kerajaan Surga.
Aku adalah Kebenaran
Apa itu kebenaran? Dan bagaimana kita bisa mengetahui kebenaran? Setelah Yesus ditangkap, Ia mendapati diri-Nya berdiri di hadapan Pontius Pilatus, Gubernur Romawi di Yudea. Dia telah dituduh menghujat, menghasut rakyat untuk melakukan revolusi, dan dikabarkan Dia menyebut diri-Nya Raja. Saat berbicara kepada-Nya, Pilatus tidak menemukan bukti adanya kejahatan yang layak dihukum mati, tetapi terpesona oleh pembicaraan-Nya tentang Kerajaan yang "bukan dari dunia ini" (Yohanes 18:36).
Menolak kembali gagasan apakah tukang kayu rendahan dari Galilea ini benar-benar menganggap diri-Nya sebagai semacam Raja, Yesus menjawab, "Engkau berkata bahwa Aku adalah seorang raja. Untuk tujuan inilah Aku dilahirkan dan untuk tujuan ini Aku telah datang ke dunia. —untuk bersaksi tentang kebenaran. Setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suaraKu.”
Tanggapan Pilatus datang dalam bentuk sebuah pertanyaan, pertanyaan yang sama yang telah ditanyakan umat manusia selama berabad-abad, tanggapan yang sama terhadap Yesus yang membuat banyak orang tidak percaya: "Pilatus berkata kepadanya, 'Apakah kebenaran itu?'"
Yesus menjawab pertanyaan ini dalam Yohanes 14 dengan para murid ketika Dia memberi tahu mereka "Akulah kebenaran". Yesus dapat bersaksi tentang kebenaran dan mengajarkan kebenaran karena Dia sendiri adalah kebenaran itu. Dalam dirinya tidak ada yang salah, tidak ada yang menyesatkan, dan tidak ada yang palsu atau tidak pasti.
Masing-masing dari kita mampu mengetahui kebenaran, tetapi tidak ada dari kita yang dapat mengklaim sebagai kebenaran. Ada terlalu banyak hal yang tidak kita ketahui, dan terlalu banyak kesalahan yang kita lakukan sepanjang hidup kita. Namun Yesus mengaku sebagai kebenaran, dan dengan melakukan itu mengaku menjadi satu dengan Allah.
Kata-kata di Yohanes 1:1 mengatur panggung untuk fakta ini: Pada mulanya adalah Firman, dan Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah.
Dalam satu kalimat ini, Yohanes memproklamasikan Yesus sebagai 'Firman', yang akan menyarankan bahwa Dia adalah awal dan puncak (akhir) dari semua yang benar sepanjang kekekalan, dan bahwa untuk mencari kebenaran pada akhirnya menuntun kita untuk mencari Dia. Ketika kita berusaha mencari tahu mana yang benar dan mana yang salah atau bohong, kita dapat mengukurnya dengan kata-kata Yesus, yang adalah kebenaran itu sendiri.
Kebenaran adalah sesuatu yang konsisten dengan pikiran, kehendak, karakter, kemuliaan, dan keberadaan dari Tuhan Allah. Kebenaran adalah ekspresi diri Allah. Mengetahui kebenaran adalah mengetahui Allah dalam suatu tingkatan. Istilah Junani ‘aletheia’ diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris ‘truth’ dan ke dalam Bahasa Indonesia ‘kebenaran” secara literal berarti tidak menyembunyikan dan konotasinya adalah sesuai fakta dan kenyataan. Yesus menggunakan istilah ini mengindikasikan kemutlakan, absolut, pengungkapan pengetahuan.
Akulah Kehidupan
Frasa ini juga menarik kita kembali ke analogi gembala dari Yohanes 10: “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang agar mereka memiliki hidup, dan memilikinya dalam kelimpahan. ... “Aku adalah gembala yang baik; Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa—dan Aku memberikan nyawaKu untuk domba-domba itu."
Di sini Yesus tidak hanya melukiskan gambaran tentang bagaimana Ia membela dan memimpin domba-dombaNya, tetapi juga memberi bayangan tentang kematianNya di kayu salib. Tetapi jika ini benar, mengapa orang Kristen masih bergumul dalam hidup? Mengapa kita masih menahan rasa sakit dan sakit hati? Karena hidup di duni sekarang ini bukanlah intinya.
Hidup di dunia sekarang ini bukanlah tujuan akhir kita dan tidak mencakup keseluruhan siapa diri kita. Hidup ini hanyalah setetes air di lautan keabadian dan berfungsi sebagai blok awal dalam maraton yang membawa kita ke tujuan hidup kekal kita. Kita dapat memperlambatnya, kita dapat menghabiskan waktu, uang, dan energi untuk bekerja melawannya, tetapi kita tidak dapat menghentikannya untuk terus maju.
Yesus sedang mengajar kita bahwa yang harus kita perhatikan bukanlah hidup ini, tetapi hidup yang kekal. Kitab Suci sering berbicara tentang kehidupan yang akan datang setelah kehidupan kita di bumi ini, dan sewaktu kita mengikuti suara gembala kita, kita dapat memahami apakah kehidupan kekal itu di sini dan saat ini. Kita dapat menjalani hidup ini sedemikian rupa sehingga kita tidak mengejar hal-hal yang tidak bertahan lama tetapi mengejar hal-hal yang bertahan lama dan memiliki makna kekal. Jenis kehidupan ini memiliki dampak kekal tidak hanya bagi kita tetapi juga bagi orang lain yang tak terhitung jumlahnya di sekitar kita.
Ketika Yesus menyebut dirinya sebagai jalan, kebenaran, dan hidup, dia memberi kita cara yang lebih baik untuk menjalani hidup kita melalui Dia. Dia menunjukkan kepada kita bahwa dengan mengikuti Dia setiap hari dalam iman, Dia akan membawa kita ke kehidupan yang lebih baik, lebih kaya, lebih bermakna daripada yang dapat kita temukan sendiri. Bagaimana kita hidup dengan mengikuti Dia setiap hari dalam iman? Menurut bible, mengenal (mengetahui dengan benar) Allah adalah arti hidup atau hidup yang kekal karena Allahlah pencipta (penulis) hidup (Yoh 17:3). Allah adalah Roh (Yoh 4:24; 2 Kor 3). Manusia adalah gambaran (serupa dan segambar dengan) Allah. Manusia sebenarnya adalah roh, yaitu bagian dari Roh Allah. Roh lah yang membuat manusia istimewa dibandingkan dengan ciptaan Allah lainnya. Hanya manusia yang dapat menciptakan Bahasa, membangun kota-kota, mengatasi hukum alam dan melembagakan kehidupan sipil, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia dapat melalukan semua ini karfena dia membawa sifat ilahi, imago Dei, citra Allah. Citra Allah dalam diri manusia natara lain: mencipta, keteraturan, karakter (ahlak) ilahi, roh Allah. “Roh yang ada dalam diri manusia, nafas Yang Mahakuasa, yang membuat manusia itu mengerti” (Ayub 32:8).
Bible menekankan bahwa roh membantu manusia mengetahui Allah adalah nyata, dan ketika seseorang menjadi Kristen, dia (Roh Yesus, Roh Kudus) menyatu dengan dirinya, roh itu besaksi bahwa dia adalah anak Allah, artinya rohnya berasal dari Allah. Bapa artinya sumber atau asal. Kalau kita berkata “Bapaku yang disurga”, kita mengaku berasal dari sumber yang berada di surga. Dari mana kita ketahui ini? Jawabnya bible. Bagaimana kita membuktikan bahwa ini benar? Jawabanya iman. Jadi pertanyaan: Bagaimana kita hidup dengan mengikuti Dia setiap hari dalam iman? Roh kita yang telah menyatu dengan Roh Kristus, Roh Kudus, membuat kita mampu, bukan lagi mengikuti, tetapi memang nyatanya “Bersama-sama Kristus” setiap saat salama kita masih bernafas.
Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang
hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi
sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah
mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.
(Galatia 2:20 TB)
Dia, Yesus mengakui misi-Nya yang tak terhindarkan, memberi tahu murid-murid-Nya, “Apa yang harus Aku katakan? 'Bapa, selamatkan Aku dari saat ini'? Tetapi untuk tujuan inilah Aku datang ke saat ini” (Yohanes 12:27). Hanya beberapa jam sebelum Dia pergi ke kayu salib, Dia menegaskan kepada Pilatus, “untuk tujuan inilah Aku dilahirkan, dan untuk inilah Aku datang ke dunia, untuk bersaksi tentang kebenaran” (Yohanes 18:37).
Yesus selalu sangat jelas tentang misi-Nya. Dalam beberapa hari pertama pelayanan publik-Nya, Dia berdiri di sebuah sinagoga Yahudi dan memberitakannya. Dia membaca Yesaya 61:1-2, mengakui bahwa Dia adalah penggenapan dari kata-kata nabi.
“Roh Tuhan ada pada-Ku, karena Dia telah mengurapi Aku untuk memberitakan Injil kepada orang miskin rohani artinya tidak mengenal Allah. Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan bagi orang tawanan (dosa) dan penglihatan bagi orang buta (rohani, fisik), untuk membebaskan orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan” (Lukas 4:18).
Yesus tahu siapa Dia dan mengapa Dia datang. Dia memenuhi bagian misi-Nya saat Dia berjalan di antara orang-orang, memberitakan Kerajaan Allah, mengajarkan kebenaran Kitab Suci, dan menyembuhkan secara ajaib untuk meneguhkan dan menunjukkan kuasa Allah yang berdiam di dalam Dia. Dia membayar hutang dosa umat manusia melalui salib dan kebangkitan, dan tepat sebelum Dia kembali kepada Bapa-Nya di surga, Dia menyerahkan tongkat estafet kepada murid-murid-Nya, memerintahkan mereka untuk melanjutkan misi yang sama untuk membawa Injil ke dunia.
Matius 28:19-20 – “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, ajarlah mereka untuk mengikuti semua yang Aku perintahkan kepadamu; dan lihatlah, Aku menyertaimu selalu, sampai akhir zaman.”
Sebagai murid Yesus, kita juga dipanggil untuk menjalankan misi Yesus. Kita harus berpikiran tunggal sebagai tentara jika kita ingin memenuhi misi kita. Kita harus sengaja dan praktis jika kita ingin menghindari keterikatan hidup ini yang akan menghalangi kita untuk berjalan dalam ketaatan. Inilah lima cara praktis kita dapat melanjutkan misi Yesus.
Baik waktu maupun tujuan kedatangan Yesus tidak acak atau
kebetulan. Paulus memberi tahu kita bahwa Yesus datang ke dunia kita “setelah
genap waktunya” (Galatia 4:4). Tuhan berdaulat, artinya Dia memiliki semua
otoritas dan kendali atas apa yang terjadi, serta kapan, mengapa, dan bagaimana
(1 Tawarikh 29:11-12). Bukan kebetulan kita hidup kapan dan di mana kita
melakukannya; itu adalah dengan rencana dan tujuan Allah sendiri (Kis.
17:24-28). Amsal 16:9 mengingatkan kita bahwa saat kita membuat rencana, “Tuhan
mengatur langkah kita.” Mengakui kedaulatan Allah atas hidup kita membantu kita
memahami dan memenuhi misi kita menyebarkan Injil.
Tuhan sedang bekerja di dunia kita setiap hari melalui Roh Kudus-Nya, berbicara kepada mereka yang berada dalam kemiskinan rohani, tertindas, dibutakan, dan ditawan oleh dosa. Dia mengatur peristiwa-peristiwa dalam hidup kita dengan tujuan, membawa kita berhubungan denganNya, pada waktu yang tepat, dalam keadaan yang tepat, sehingga kita dapat menjadi utusan dan utusan-Nya untuk Injil. Keluarga yang pindah ke sebelah, gadis di kantor sebelah Anda, pria yang sepertinya selalu berolahraga pada waktu yang sama dengan Anda – ini bukan pertemuan acak. Allah berdaulat bekerja untuk menciptakan kesempatan bagi kita untuk membagikan kebenaran. Mintalah Tuhan untuk membuat Anda lebih sensitive dan menyadari kedaulatan-Nya dalam hidup Anda.
2. Sering Berdoa, Sesuai Kehendak Tuhan
Jika Anak Allah perlu berdoa, apalagi kita? “Yesus sendiri sering
menyelinap ke padang gurun dan berdoa” (Lukas 5:16). Dia berdoa baik secara
umum maupun pribadi. Dampak doa-doa-Nya sedemikian rupa sehingga para murid meminta
kepada-Nya, “ajarlah kami berdoa” (Lukas 11:1).
Yesus memberikan instruksi khusus tentang doa dalam kaitannya dengan misi membagikan Injil. Saat Dia melewati berbagai kota dan desa, Dia dipenuhi dengan belas kasih kepada orang-orang yang Dia temui. Mereka “tertekan dan putus asa seperti domba yang tidak bergembala” (Matius 9:36). Menggunakan ilustrasi panen, Dia memberi tahu para pengikut-Nya bahwa tuaian sudah banyak dan siap (Yohanes 4:35), tetapi ada kekurangan pekerja. Kita melanjutkan misi Yesus dengan meminta Bapa untuk "mengirimkan pekerja ke tuaian-Nya" (Matius 9:38). Ini adalah kehendak Tuhan, dan Kitab Suci berjanji bahwa jika kita meminta sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya, Dia mendengar kita dan akan menjawab.
Paulus mendesak rekan-rekan seimannya untuk berdoa agar Tuhan membuka pintu bagi Injil, sehingga dia dapat memberitakan misteri Kristus (Kolose 4:3); dia juga meminta doa untuknya, agar dia mau membuka mulutnya untuk Injil (Efesus 6:19). Ini mengingatkan kita pada apa yang terjadi ketika para murid berkumpul dan berdoa setelah Yesus naik. Roh Kudus turun, memampukan mereka untuk memberitakan Injil dengan kekuatan supranatural, sehingga orang-orang dari segala bangsa mendengar kabar baik dalam bahasa mereka sendiri (Kis. 2:1-11).
Beberapa hari kemudian, ketika Petrus dan Yohanes diperintahkan untuk berhenti berbicara tentang Yesus tetapi menolak untuk menaati manusia daripada Allah, hal serupa terjadi ketika orang-orang percaya berkumpul untuk berdoa. “Dan ketika mereka sedang berdoa, goyanglah tempat mereka berkumpul itu, dan mereka semua penuh dengan Roh Kudus dan mulai memberitakan firman Allah dengan berani” (Kis. 4:31).
Berdoa untuk para pekerja, berdoa untuk yang terhilang, berdoa untuk keberanian dan kesempatan. Kita melanjutkan misi Yesus dengan berdoa dengan tekun, sering, dan sesuai dengan kehendak Tuhan.
3. Taat kepada Roh Kudus dalam Melayani dan Mengasihi Sesama Kita
Misi Yesus adalah misi belas kasihan. “Ketika kita masih berdosa,
Kristus telah mati untuk kita” (Roma 5:8). Yesus mengajarkan sebuah perumpamaan
yang secara sempurna mengilustrasikan misi belas kasihan-Nya dan menunjukkan
kepada kita cara-cara praktis untuk melakukan hal yang sama. Dalam Lukas 10,
seorang pengacara bertanya kepada Yesus apa yang dapat dia lakukan untuk mewarisi
kehidupan kekal. Yesus pada dasarnya mengatakan kepadanya bahwa dia harus
memenuhi Hukum (sesuatu yang kita tahu tidak mungkin dalam sifat kejatuhan
kita). Hukum Musa dirangkum dalam perintah untuk “kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap
kekuatanmu, dan dengan segenap akal budimu; dan kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri.”
Hanya Yesus yang dapat memenuhi perintah ini dengan sempurna; Hukum adalah pembimbing kita, menunjukkan kepada kita kebutuhan kita akan kebenaran-Nya. Saat ahli hukum itu berjuang untuk mendefinisikan apa artinya “mengasihi sesamanya,” Yesus menceritakan kisah tentang Orang Samaria yang Baik Hati. Tetangga sejati menunjukkan belas kasihan kepada mereka yang membutuhkan. Begitu kita tahu bahwa kita dikasihi oleh Allah, dan membalas kasih-Nya, maka kita melanjutkan misi belas kasihan Yesus dengan mengasihi dan melayani sesama kita – orang-orang yang Allah taruh di hadapan kita.
Tuhan menciptakan kita untuk pekerjaan baik (Efesus 2:10). Paulus memberi tahu pendeta muda, Titus, untuk mengajar umatnya untuk “melakukan perbuatan baik untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak” (Titus 3:14) dan karena Kristus Yesus “menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk menebus kita dari setiap perbuatan durhaka, dan untuk menyucikan bagi kita. Diri-Nya adalah umat milik-Nya sendiri, rajin berbuat baik” (Titus 2:14). Yesus menginstruksikan para pengikut-Nya untuk membiarkan terang mereka “bersinar di hadapan manusia sedemikian rupa sehingga mereka dapat melihat perbuatan baikmu, dan memuliakan Bapamu yang di surga” (Matius 5:16).
Seseorang pernah mendefinisikan welas asih sebagai "belas kasihan dengan kaki". Tuhan melihat kebutuhan kita akan belas kasihan; Belas kasihan-Nya menggerakkan Dia untuk bertindak dalam belas kasihan, dengan mengutus Yesus. Demikian juga, kita melanjutkan misi belas kasih Yesus bagi yang terhilang dengan menunjukkan belas kasihan kepada mereka yang membutuhkan keselamatan. Kita melayani orang lain dengan sikap hati yang sama yang ada di dalam Kristus Yesus. Ia mengosongkan diri-Nya dari kemuliaan-Nya, menjadi serupa dengan manusia, dan merendahkan diri-Nya sampai mati di kayu salib (Filipi 2:5-8). Mintalah Tuhan untuk membuat Anda peka terhadap bisikan Roh Kudus, saat Dia memimpin Anda untuk tindakan belas kasih dan kasih, dalam semangat misi Yesus.
4. Ceritakan Apa yang Telah Yesus Lakukan untuk Kita
Yesus tidak pernah malu tentang siapa Dia. Faktanya, kejujuran-Nya
adalah hal yang menyebabkan penyaliban-Nya. Orang-orang Yahudi, para imam dan
ahli Taurat mereka, dan dewan penguasa orang Farisi dan Saduki, semuanya
mengetahui kitab suci yang menubuatkan kedatangan Mesias. Mereka sepenuhnya
yakin bahwa Mesias akan datang dan memulihkan kerajaan Allah. Namun, ketika
Yesus dengan jelas memberi tahu mereka bahwa Dia adalah Anak Allah, mereka
menolak Dia. Setiap kali mereka mendengar Dia menyatakan identitas-Nya, mereka
menjadi semakin marah, menuduh Dia menghujat.
Jika kita akan melanjutkan misi Yesus, kita harus jujur tentang siapa kita, dan apa yang telah Dia lakukan untuk kita. Yesus memperingatkan para murid bahwa mereka akan diutus “seperti anak domba ke tengah-tengah serigala” (Lukas 10:3). Dia tahu secara langsung permusuhan dari dunia yang tidak percaya, tetapi Dia juga tahu perlunya mengatakan kebenaran kepada dunia. Seperti Petrus dan Yohanes, ketika dunia meminta kita untuk duduk dan berhenti berbicara tentang Yesus, “kita tidak dapat berhenti berbicara tentang apa yang telah kita lihat dan dengar” (Kis. 4:20). Seperti Paulus, kita berusaha menyenangkan Allah, bukan manusia (Galatia 1:10), dan itu membutuhkan keberanian.
Saat di bumi, Yesus menceritakan kisah-Nya. Ia diutus dari Allah (Yohanes 8:42) dan akan kembali kepada Bapa setelah pekerjaan-Nya selesai (Yohanes 17:4). Tujuannya adalah untuk mengungkapkan kemuliaan Allah dalam daging manusia (Yohanes 1:14), dan untuk mencapai keselamatan melalui kematian, penguburan, dan kebangkitan-Nya. Saat kita melanjutkan misi-Nya, kita harus menceritakan kisah kita sendiri – siapa kita, bagaimana Yesus menemukan kita, bagaimana kita menanggapi Dia, dan apa yang Dia lakukan dalam hidup kita sekarang. Misinya hidup dalam kisah pertobatan dan pertumbuhan rohani kita. Sama seperti Yesus, kita mengungkapkan kemuliaan Allah baik dalam cerita kita maupun dalam tindakan ketaatan kita.
5. Ajak Orang Lain untuk Percaya
Yesus berkata, “Akulah kebangkitan dan hidup; dia yang percaya
kepada-Ku akan hidup, bahkan jika dia mati, dan setiap orang yang hidup dan
percaya kepada-Ku tidak akan pernah mati. Apakah Anda percaya ini? (Yohanes
11:25-26). Kata-kata ini diucapkan kepada Marta sambil berdiri di depan kuburan
kakaknya Lazarus. Maria dan Marta tahu tanpa keraguan bahwa Yesus memiliki
kuasa untuk mencegah kematian Lazarus. Mereka telah melihat Dia menyembuhkan
orang sakit, mengusir setan, dan mengubah air menjadi anggur. Mereka tidak
mempertanyakan kemampuan-Nya, tetapi mereka meragukan kerelaan-Nya. Yesus
menghadapi keraguan mereka dengan pertanyaan sederhana: Apakah kamu percaya
ini?
Saat kita melanjutkan misi-Nya untuk menjangkau yang terhilang, kita juga harus bersedia mengajukan pertanyaan, “Apakah Anda percaya ini?” Kita dapat mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri. Kita bisa melakukan banyak tindakan kebaikan. Kita dapat percaya bahwa Allah berdaulat, dan kita dapat berdoa tanpa henti. Kita bahkan dapat mengatakan apa yang Yesus telah lakukan bagi kita. Tapi misi kita belum selesai sampai kita bertanya kepada orang di depan kita, “Apakah Anda percaya ini?”
Bapa surgawi kita adalah Tuhan panen; itu panen-Nya. Kita tidak bertanggung jawab atas hasil misi, tetapi kita bertanggung jawab untuk patuh bekerja di ladang. Mintalah kepada Tuhan untuk memberi Anda keberanian untuk menyelesaikan misi Anda dan berdoa untuk banyak buah bagi Kerajaan.
Selanjutnya: Kebangkitan Yesus